Tuesday, October 25, 2011

Belajar Cepat Membaca Al-Qur'an [Metode Tartil]

PELATIHAN CARA CEPAT DAN PRAKTIS BELAJAR MEMBACA DAN MENULIS

AL-QUR’AN (METODE TARTIL)
Untuk Pemberantasan Buta Huruf Al-Qur’an di Kecamatan Sukarame
Kota Bandar Lampung


A. Nama Kegiatan

Pelatihan Cara Cepat dan Praktis Belajar Membaca dan Menulis Al-Qur’an (Metode Tartil) bagi Calon Guru Baca Tulis Al-Qur'an di Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung Provinsi Lampung.


B. Dasar Pemikiran

Tidak dapat dinafikan bahwa dalam era Informasi saat ini arus budaya mengalir sangat cepat, penyebaran dan penerimaan informasi bisa dilakukan dalam waktu sesaat. Sebagai umat Islam tentunya hal ini mesti disikapi secara positif. Di sisi lain kita dihadapkan pada suatu tantangan kemungkinan terdapatnya pengaruh-pengaruh negatif yang harus disikapi secara cermat dan diantisipasi. Untuk menyikapi tantangan tersebut tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada Al-Qur’an (back to Qur’an).

Al-Qur’an merupakan pedoman utama umat Islam dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat. Seyogianyalah umat Islam harus mampu membaca, menulis, memahami dan mengamalkan ajaran al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Memahami isi kandungan al-Qur’an tentu diawali dengan kemampuan membaca dan menulis al-Qur’an dengan baik. Dengan demikian tentunya perlu diajarkan al-Qur’an tersebut dari generasi ke generasi sedini mungkin. Untuk merealisasikan keinginan itu, sekaligus dalam rangka mempercepat pemberantasan buta baca tulis al-Qur’an dari generasi ke generasi khususnya di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan Taman Pendiditan Al-Quran (TPA/TPQ) yang ada di Kecamtan Sukarame Kota Bandar Lampung Propinsi Lampung, sudah saatnya ditingkatkan peran Instruktur/Guru yang akan mengajarkan baca tulis al-Qur’an tersebut.

Problem dalam pengajaran Al-Qur’an selama ini adalah belum adanya keseragaman metode dan pembinaan untuk guru-guru yang akan mengajarkan Al-Qur’an tersebut, selama ini guru-guru mengajarkan Al-Qur’an kebanyakanya menggunakan metode-metode yang sangat alami, ataupun mereka mengajarkanya menurut konsep dan pemahaman sendiri tanpa adanya konsep dan target waktu yang jelas terhadap proses pembelajaran Al-Qur’an yang mereka lakukan. Pola pengajaran seperti ini tentunya susah untuk diukur tingkat keberhasilanya, ini terlihat pada banyaknya jumlah anak-anak usia sekolah baik SD, SLTP, SLTA bahkan perguruan tinggi (PT) yang tidak bisa membaca Al-Qur’an dengan baik, yang lebih parah lagi tidak bisa membaca Al-Qur’an sama sekali, sehingga akhirnya ketidakmampuan ini terbawa sampai tua. Tidak heran terkadang kita melihat bapak-bapak & ibuk-ibuk dalam acara-acara Yasinan, mereka membaca surat Yasin melalui teks bahasa Indonesianya. Padahal kalau diajarkan melalui satu metode yang tepat dan praktis sepatutnya murid yang sudah duduk di kelas V dan VI SD tidak ada lagi yang tidak bisa membaca Al-Qur’an. Inilah salah satu bentuk permasalahan ketidakmampuan membaca dan menulis Al-Qur’an hingga hari ini.

Untuk menjawab permasalahan ini antara langkah yang dapat dilakukan adalah dengan jalan memberikan pelatihan/penataran khusus kepada Instruktur/Guru baca tulis al-Qur’an yang dapat mengantarkan mereka untuk membantu dengan cepat siswa-siswa yang menghadapi permasalahan seperti dipaparkan tadi. Dengan perkataan lain Instruktur/Guru baca tulis al-Qur’an tersebut perlu diberikan satu pendekatan yang lebih Cepat dan Praktis untuk Belajar Membaca dan Menulis Al-Qur’an (Metode Tartil). Ini penting dilakukan supaya adanya keseragaman metode dan pembinaan bagi anak di Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung Propinsi Lampung dalam mengatasi buta huruf Al-Qur’an. Metode ini juga sangat penting dalam rangka mempersiapkan tenaga guru Al Qur’an yang profesional dalam mengajarkan baca tulis Al-Qur’an. Sehingga pengajaran Al-Qur’an itu tidak hanya berjalan secara alami dan menghabiskan waktu yang sangat lama.


B. Tujuan

Tujuan pelatihan/penataran baca tulis al-Qur’an bagi Instruktur /Guru baca tulis al-Qur'an ini adalah :


1. Tujuan Umum:

Melalui pelatihan/penataran tersebut akan dilahirkan tenaga-tenaga yang terampil dan profesional dalam mengajarkan cara membaca dan menulis al-Qur’an, sehingga pada akhirnya dapat memberikan pemahaman kepada anak tentang ayat-ayat al-Qur’an yang mereka pelajari. Sekiranya siswa dapat memahami Al-Qur’an dengan baik tentunya pesan-pesan Al-Qur’an tersebut dapat mereka amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada gilirannya harapan kita untuk mewujudkan masyarakat yang religius dan sadar tentang hukum dapat terealisasi.


2. Tujuan Khusus:

Tujuan khusus dari pelatihan/penataran baca tulis al-Qur’an bagi Instruktur/Guru baca tulis al-Qur'an ini adalah:

a. Untuk menyiapkan tenaga Instruktur/Guru baca tulis al-Qur’an yang profesional dalam rangka pemberantasan buta baca tulis al-Qur’an di kalangan anak-anak usia sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat (SLTP) dan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) di Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung Propinsi Lampung.

b. Memasyarakatkan metode cepat dan praktis belajar membaca dan menulis al-Qur’an, serta penyeragaman pola pengajarannya, sehingga dalam waktu yang relatif singkat para anak didik dapat membaca dan menulis al-Qur’an dengan baik dan benar.


C. Bentuk Kegiatan

Kegiatan ini berbentuk pelatihan/penataran metode cepat dan praktis belajar membaca dan menulis Al-Qur’an ( Metode Tartil ) bagi Instruktur/Guru baca tulis al-Qur’an se Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung Propinsi Lampung.


D. Materi Pelatihan

Materi pelatihan/penataran bagi Instruktur/Guru baca tulis al-Qur’an tersebut terdiri dari:

1. Metode Tartil I ( Dasar ):
a. Memperkenalkan huruf al-Qur'an yang belum berbaris dan praktek pengajarannya.
b. Memperkenalkan huruf dan ayat al-Qur'an yang berbaris satu dan praktek pengajarannya.
c. Memperkenalkan ayat al-Qur'an yang bertanda mati (sukun) dan praktek pengajarannya.
d. Memperkenalkan ayat al-Qur'an yang bertanda tasydid dan praktek pengajarannya.
e. Memperkenalkan ayat al-Qur'an yang berbaris dua dan praktek pengajarannya.

2. Praktek membaca al-Qur'an dengan sistem bacaan Murattal serta praktek pengajarannya.

3. Metode Tartil II (Ilmu Tajwid Praktis):
a. Mad dan Qashr serta praktek pengajarannya.
b. Ghunnah dan Bila Ghunnah serta praktek pengajarannya.
c. Waqaf dan Ibtida' serta praktek pengajarannya
d. Menulis / Imlak al-Qur’an dan Praktek Pengajarannya

4. Kebijaksanaan Pemerintah Kota Bandar Lampung.
5. Kebijaksanaan Pimpinan IAIN Raden Intan Lampung Lampung.
6. Kebijaksanaan Kementerian Agama Wilayah Provinsi Lampung.


E. Peserta Pelatihan/Penataran

Peserta pelatihan/ penataran Cara Cepat dan Praktis Belajar Membaca dan Menulis Al-Qur’an (Metode Tartil) bagi Calon Guru Baca Tulis Al-Qur'an di Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung Provinsi Lampung adalah para ustadz/ ustadzah se kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung Propinsi Lampung berjumlah 60 orang.


F. Nara Sumber & Fasilitator

Nara Sumber dan fasilitator pelatihan/penataran :

1. DR. Syafrimen, Staf Ahli LPM dan dosen tetap Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung, Tim Metode Tartil asuhan : H. Gazali, SIQ, M.A- Dosen Fak. Ushuluddin IAIN IB Padang dan Sekolah Tinggi Agama Islam Pengembangan Ilmu Al-Qur’an “STAI-PIQ” Sumatera Barat (Pencipta Metode Tartil).
2. Pakar dari IAIN Raden Intan Lampung
3. Unsur Stap ahli LPM IAIN Raden Intan Lampung.


G. Waktu dan Tempat Pelatihan

Pelatihan/penataran bagi guru-guru baca tulis al-Qur'an ini dilaksanakan selama 15 hari bertempat di Gedung Taman Pendidikan Al Qur’an Masjid Al Mukmin Jln. Pulau Sangeyang Sukarame Bandar Lampung.

H. Rencana Anggaran

Rencana anggaran biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan pelatihan/penataran Instruktur/Guru baca tulis al-Qur'an tersebut sejumlah : Rp. 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah), terlampir, dibiayai sepenuhnya oleh DIPA tahun 2011

E. Penutup

Proposal ini disusun dalam rangka rencana pelatihan/penataran Cara Cepat dan Praktis Belajar Membaca dan Menulis al-Qur’an (Metode Tartil) bagi Instruktur/ Guru baca tulis al-Qur'an se Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung Provinsi Lampung.


Bandar Lampung, 16 Agustus 2011.

Lembaga Pengabdian Masyarakat,
Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung,
Ketua,


Drs. Nasruddin, M.Ag.
NIP: 195809241990031003

Thursday, June 10, 2010

PENDIDIKAN KARAKTER

Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Nilai:
Pengalaman Malaysia ( 1970-2008 )
oleh
Prof. Madya. Dr. Tajul Ariffin Noordin
Fakulti Pendidikan
Universiti Kebangsaan Malaysia


Pendahuluan
Dua konsep dalam tajuk ini iaitu pembangunan karakter dan pendidikan nilai amat penting terutama dalam kehidupan di era pasca-modenisasi sekarang ini. Kehidupan dunia sekarang ini menghadapi keruntuhan dan kemusnahan nilai-nilai kemanusiaan. Semuanya berpunca daripada amalan pemikiran liberal, demokratik, sekular, materialistik dan individualistik yang bebas daripada penghayatan agama. Implikasinya, manusia telah hilang maruah dan harga diri. Inilah titik mula yang menyebabkan bangsa kita kehilangan jati diri dan karakter.

Pengalaman Malaysia

Penulisan ini akan menyoroti pengalaman penulis dalam perspektif pendidikan nilai di Malaysia dalam tempoh 1970-2008. Semoga pengalaman ini dapat dimanfaatkan bersama oleh rakan–rakan pendidikan serantau. Khususnya di Nusantara. Pendidikan nilai di Malaysia bermula secara serius dalam tahun 1970 dengan fokus pembangunan budaya ilmu. Maksudnya ilmu merupakan nilai terunggul untuk pembinaan karakter bangsa. Ini diikuti dengan fokus Pembangunan insan (1978), fokus Kesepaduan ilmu (1984), Kualiti insan (1987) dan fokus Masyarakat Madani (1996). Sekarang ini (2008) fokus yang giat dibangunkan ialah pembangunan Modal Insan yang berintegriti.

Kerangka Pemikiran

Untuk memudahkan pemahaman terhadap pendidikan nilai dan pembangunan karakter bangsa di Malaysia. Sila rujuk Rajah 1.

PENDIDIKAN BERSEPADU, NILAI, PEMBANGUNAN KARAKTER, Kualiti Etika dan Tanggung Jawab, Kualiti Khidmat Masyarakat, RASUAH!, Kualiti Hidup dan Kemanusiaan, Keutuhan Keluarga dan Masyarakat, Kualiti Adab Sopan, MODAL INSAN, INTEGRITI

Rajah 1.
Pendidikan Nilai dan pembangunan karakter di Malaysia

Penjelasan

Pendidikan Bersepadu

Bermaksud pendidikan yang berasaskan kesepaduan ilmu. Iaitu kesepaduan ilmu wahyu yang bersifat teras dengan ilmu akal. Matlamat pendidikan bersepadu ialah untuk melahirkan INSAN yang bertaqwa dan cemerlang daya inteleknya.

Nilai

Bermaksud manusia adalah INSAN. Menghayati nilai bersepadu iaitu juzu’ manusia, alam dan Maha Pencipta. Dengan kesepaduan ilmu, iman dan amal. Pembangunan karakter adalah secara bersepadu di antara akal, roh dan jasad. Justeru, manusia bukanlah haiwan sosial yang bebas nilai.

Pembangunan Karakter

Fokus kepada pembangunan karakter adalah konsep insaniah. Pengertian insaniah hendaklah sentiasa merujuk kepada konsep pendidikan bersepadu dan nilai yang dijelaskan di atas. Secara lebih terperinci, konsep insaniah hendaklah dibangunkan secara bersepadu dengan tujuh (7) komponen. Iaitu etika dan moral, kepimpinan, komunikasi, keusahawanan, kemahiran berfikir, pembelajaran dan pengurusan maklumat secara berterusan, dan kerja berpasukan. Pembangunan karakter dilaksanakan dengan pendekatan berfikiran global. Tetapi bertindak secara nasional, iaitu menurut acuan Malaysia. Dengan strategi ini, adalah diharap Malaysia dapat menghasilkan cendekiawan atau intelektual untuk warga dunia.

INTEGRITI

Inilah fokus nilai dan karakter yang paling utama di Malaysia pada masa kini. Integriti merujuk kepada keunggulan maruah dan harga diri insan. Juga merupakan keutuhan kualiti moral, dan akhlak yang dapat mengekalkan tahap profesionalisme yang benar-benar bertaraf tinggi. Dengan integriti yang tinggi, dapatlah dihapuskan nilai dan amalan buruk seperti lupa, lalai, ragu, menfitnah, maksiat, fasik dan munafik. Di Malaysia, keseluruhan nilai masa kini bermatlamat untuk pengukuhan integriti.

4.1 Pembinaan Kualiti Adab Sopan

Dalam perubahan dan kemajuan dunia yang cukup pantas dan rakus hari ini, ternyata kualiti adab sopan semakin terhakis dan pupus. Adab sopan dianggap nilai negatif yang boleh menghalang kejayaan diri dan pembangunan Negara. Sedikit demi sedikit kualiti adab sopan sesama manusia, di antara manusia dengan alam dan dengan Tuhan semakin terhakis dan hilang. Menyedari fenomena ini, pembangunan karakter bangsa perlu dimulai dengan pembinaan dan pengukuhan adab sopan.
Pembangunan, Keutuhan Keluarga dan Masyarakat

Malapetaka atau tsunami paling besar yang melanda manusia sedunia hari ini ialah berlakunya keruntuhan institut keluarga dan masyarakat. Dengan keruntuhan dua institusi ini, maka bermula kehancuran nilai dan adab sopan manusia. Harga diri dan karakter manusia menjadi semakin hina dan songsang. Tugas pendidikan yang amat mendesak sekarang adalah untuk membangunkan dan memperkasa semula institusi keluarga dan masyarakat. Justeru, pendidikan nilai haruslah dimulai dengan program-program pendidikan keluarga dan masyarakat. Daripada keluarga dan masyarakat yang harmoni akan lahirlah insan yang mempunyai asas nilai dan karakter yang mulia.
Kualiti Hidup dan Kemanusiaan
Kualiti hidup dimaksudkan sebagai kehidupan yang harmoni dengan fitrah insan yang dianugerah oleh Allah swt. Manakala kemanusiaan diertikan sebagai kehidupan yang berbudaya dan bertamadun berpaksikan ajaran agama yang suci. Kesepaduan kedua-dua faktor ini akan menyuburkan pembangunan nilai-nilai murni dan pembinaan karakter insan. Dengan ini dapatlah disemarakkan corak dan gaya hidup yang normal dan harmoni dengan fitrah insan. Ini bermakna semua nilai yang dicetuskan oleh hukum rimba dan nafsu serakah manusia dapat dihapuskan. Di sinilah sepatutnya pendidikan itu difokuskan.
Kualiti Etika dan Tanggung Jawab

Kualiti etika dan tanggung jawab adalah dua faktor yang akan mencantik, mewarnai dan mengindahkan lagi kehidupan manusia. Juga dapat melonjakkan nilai-nilai murni ke tahap penghayatan dan amalan dalam realiti kehidupan secara praktik. Dalam kata yang lain kedua faktor di atas akan mampu memindahkan persepsi nilai dalam bentuk abstrak kepada nilai dalam bentuk yang praktikal.
Kualiti Kehidupan Masyarakat

Dengan terbentuknya nilai-nilai secara praktikal, maka amalan tanggung jawab moral dan sosial akan terus dipraktikkan. Keadaan itu tentu sekali akan meningkatkan penglibatan dan kerja-kerja sosial. Ini akan membantu dalam peningkatan kualiti kebajikan, keselamatan, kebersihan dan kesihatan rakyat. Penglibatan dalam program rakyat ini akan membantu dalam pembentukan dan pembangunan karakter bangsa.


Menghapus Rasuah

Musuh yang paling bahaya dalam usaha-usaha pembinaan integriti dalam masyarakat dan negara ialah najis dan jenayah rasuah. Sikap buruk inilah yang merosakkan agama, bangsa dan Negara. Oleh itu, matlamat akhir pendidikan nilai adalah untuk membentuk masyarakat yang bebas dan bersih daripada rasuah. Untuk tujuan ini, kelima-lima komponen integriti yang dibincang sebelum ini (4.1 – 4.6) hendaklah dilaksanakan secara bersepadu dan berterusan dengan matlamat untuk menghapuskan rasuah hingga ke akar umbinya sekali. Oleh itu, pendidikan nilai yang akan diusahakan nanti hendaklah meletakkan matlamat untuk menghapuskan rasuah.

Paradigma Berfikir

Kegagalan pendidikan nilai adalah berpunca daripada amalan kaedah berfikir yang tidak sihat. Dari segi pengetahuan dan pemahaman nilai didapati baik. Tetapi dari segi penghayatan dan amalan nilai, murid-murid didapati masih bermasalah. Perkara ini mungkin berpunca daripada cara berfikir yang negatif dan tidak sihat.

Bagi mengatasi masalah berfikir dicadangkan penyelesaiannya seperti yang digambarkan dalam rajah 2. Penjelasannya adalah seperti berikut.
5.1 Budaya Ilmu

Pemikiran yang sihat akan bermula dengan adanya budaya ilmu. Maksudnya budaya mencari fakta dan bukti yang dapat mencapai kebenaran. Dalam pendidikan nilai perlu dimulai dengan ilmu. Dalam konteks ini pelajar perlu dididik supaya minat berfikir dan mencintai kebenaran ilmu.

5.2 Ilmu Wahyu

Adalah kebenaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ilmu wahyu bersifat benar. Oleh itu pelajar mesti dididik supaya yakin, taat dan mencintai kebenaran ilmu wahyu. Tidak boleh ada sebarang keraguan dalam ilmu wahyu. Pada tahap ini, usaha-usaha untuk meningkatkan keimanan perlu dilakukan. Apabila iman telah kental maka pelajar tidak akan ragu terhadap ilmu wahyu. Inilah yang kami namakan sebagai akhlak insan. Maksudnya pelajar akan mulakan dengan berfikir secara positif terhadap kebenaran ilmu wahyu.


PROSES BERFIKIR
1. BUDAYA ILMU: ILMU
2. ILMU WAHYU : IMAN (Akhlak Insan)
● Yakin & Taat
● Cinta Kebenaran
3. PROSES BERFIKIR: PENGHAYATANAkhlak, Ilmu
● Analisis
● Sintesis
● Pemurnian
● Ulang dan bina semula
● Permudahkan
4. HASIL : AMAL (Amar Makruf Nahi Mungkar)
● Kebenaran
● Kesejahteraan

Rajah 2. Kaedah Berfikir untuk Pendidikan Nilai menurut Konsep Pendidikan Bersepadu


5.3 Proses Berfikir

Apabila pelajar-pelajar telah beriman, yakin dan taat terhadap ilmu wahyu, mereka dibimbing untuk berfikir secara sihat terhadap ilmu-ilmu akal. Berfikir secara sihat terhadap ilmu-ilmu akal kami namakan akhlak ilmu. Maksudnya niat untuk berfikir mestilah ke arah kebaikan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. Tahap-tahap proses berfikir untuk ilmu-ilmu akal ialah analisis, sintesis, pemurniaan, mengulangi dan membina semula; dan akhirnya mempermudahkan. Justeru, nilai yang perlu dibina di sini ialah sentiasa berfikiran sihat untuk kebaikan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat.

5.4 Hasil Pemikiran

Di akhir proses berfikir hasilnya adalah untuk mencapai kebenaran ilmu dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai matlamat ini, faktor yang perlu diterapkan ialah konsep amal dalam kehidupan seharian. Lebih tepat lagi kami namakan faktor ini sebagai Amar makruf nahi mungkar. Aspek nilai yang difokuskan dan diutamakan di sini ialah amalan dan perjuangan untuk melaksanakan kebaikan. Pada masa yang sama menentang sekeras-kerasnya segala bentuk kemungkaran dan maksiat. Kalau dianalisis dengan teliti rajah 2, dapatlah difahami berlaku pergerakan amalan nilai berterusan tanpa henti seperti juga peredaran darah dalam tubuh manusia. Inilah yang kami namakan proses pendidikan nilai dalam kaedah berfikir menurut konsep pendidikan bersepadu.
Perlaksanaan Pendidikan Nilai: Paradigma Al-Qur’an dan As-Sunnah

Di Sekolah

(i) Sumber asas dalam pendidikan mestilah Ilmu Wahyu iaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mesti diimani, diyakini dan dicintai.

(ii) Pengajaran dan pembelajaran dilaksanakan menurut konsep pendidikan bersepadu. Maksudnya ilmu wahyu menjadi paksi kepada ilmu akal. Nilai yang dibina di sini ialah akhlak insan dan akhlak ilmu.

(iii) Melaksanakan Falsafah Pendidikan Negara (Malaysia). Tujuannya untuk memberi wajah pendidikan menurut Acuan Malaysia. Matlamatnya ialah untuk melahirkan insan yang berintelek dan bertaqwa.

(iv) Strategi pengajaran dan pembelajaran yang diguna pada tahap persekolahan ialah memberi pengetahuan, pemahaman dan penghayatan nilai-nilai murni.

(v) Model atau pendekatan pendidikan pada tahap sekolah ialah model kognitif, model motivasi dan model harmoni. Nilai-nilai yang dibina di sini akan membentuk moral, akhlak, disiplin, peribadi dan karakter yang benar-benar mantap. Paksi kepada semua faktor ini ialah pembangunan INSAN.

A. Lokasi B. Tahap Pengajaran dan C. Model Pendidikan
Pembelajaran
I. SEKOLAH Pengetahuan Kognitif
1. Pendidikan Pemahaman Motivasi
Al-Qur’an& Penghayatan Harmoni
As-Sunnah

2. Pendidikan
Bersepadu

3. Falsafah
Pendidikan
Negara (Malaysia)
II. DALAM KEHIDUPAN

4. Amalan Taqwa AMALAN Aplikasi Ilmu
● Persaudaraan
● Tanggung jawab
Moral dan Sosial

Rajah 3. Perlaksanaan Pendidikan Nilai Menerusi Paradigma Al-Qur’an dan As-Sunnah
Dalam Kehidupan

(i). Alam kehidupan merupakan hasil pendidikan. Pelajar-pelajar yang akan memasuki alam kehidupan diharap akan mengamalkan sifat-sifat ketaqwaan dalam semua aktiviti kehidupan. Maksudnya akan melakukan kebaikan dan pada masa yang sama akan menentang sekeras-kerasnya semua bentuk keburukan dan maksiat. Juga pelajar-pelajar diharap akan mengukuh persaudaraan sesama insan. Akhirnya akan bersama menjalankan tanggung jawab moral dan sosial. Ketiga-tiga faktor ini merupakan nilai yang sangat penting untuk membangunkan bangsa yang berkarakter dan berjasa kepada agama, bangsa dan negara.

(ii) Fokus nilai yang sangat kritikal dalam kehidupan adalah tahap amalan. Kajian menunjukkan pendidikan nilai telah berjaya pada tahap pengetahuan, pemahaman dan penghayatan. Tetapi aspek pengamalan nilai dalam kehidupan ternyata amat lemah sekali. Atas kenyataan inilah tahap amalan perlu diberi fokus utama dalam kehidupan.

(iii) Dalam kehidupan pelajar model pendidikan yang sesuai ialah model tingkah laku dan model aplikasi ilmu. Paksi kepada kedua faktor di atas adalah konsep fitrah dan konsep ibadah. Kedua konsep ini merupakan asas kepada konsep nilai untuk membentuk kehidupan pelajar yang sihat dan sejahtera.

Cadangan dan Penutup

Pendidikan nilai adalah agenda perdana di Malaysia sejak tahun 1970. Malah agenda ini menjadi semakin penting masa ini (2008) disebabkan kita menghadapi serangan gelombang hidup pasca modernisasi. Kajian mutakhir di Malaysia menunjukkan pendidikan nilai hanya berjaya mencapai matlamat tahap pengetahuan dan pemahaman nilai. Tahap penghayatan dan amalan masih belum berjaya. Dalam kertas ini pendidikan nilai dilaksanakan dengan strategi baru seperti yang digambarkan dalam Rajah 1, 2 dan 3. Untuk memudahkan perlaksanaan pendidikan nilai seterusnya, berikut adalah beberapa cadangan yang sesuai dilaksanakan.

Cadangan

Kesan negatif daripada gaya hidup pasca modern perlu difahami supaya dikenalpasti di manakah bermulanya punca dan masalah nilai. Pendidikan nilai perlu difokuskan kepada memperkasa integriti dalam kehidupan. Seterusnya dihayati dan diamalkan dalam enam (6) aspek atau komponen integriti. Sebagai langkah permulaan kaedah berfikir perlu diubah daripada kaedah berfikir secara saintifik kepada kaedah pemikiran bersepadu seperti yang digambarkan dalam Rajah 2. Sebagai alternatif, kaedah pendidikan nilai boleh menggunakan kaedah yang dinamakan ‘paradigma Al-Qur’an dan As-Sunnah’ (Rajah 3). Pendidikan nilai sama ada di sekolah ataupun di institusi pendidikan tinggi (IPTA/IPTS) hendaklah meletakkan matlamat pada tahap penghayatan dan pengamalan nilai. Ini perlu dilaksanakan secara harmoni dan berterusan di peringkat sekolah, ke peringkat institusi pendidikan tinggi (IPTA/IPTS) dan seterusnya ke dalam kehidupan sebenar pelajar.

Friday, April 16, 2010

MEMIMPIN DENGAN EMPATI

MEMIMPIN DENGAN EMPATI

Dr (Cand). Risnaldi Ibrahim, MM
risnaldi79@yahoo.com
Dr. Syafrimen, M.Ed
syafrimens@yahoo.com


Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat, dan dia banyak menyebut nama Allah (Q.S. al-Ahzab; 21).
Setiap kamu adalah pemimpin, setiap kepemimpinan akan diminta pertanggung jawabanya (Al-Hadist).

Sifat empati merupakan kemampuan seseorang untuk menyadari perasaan, kepentingan, kehendak, masalah atau kesusahan yang dirasakan oleh orang lain. Individu yang memiliki sifat empati tersebut senantiasa dapat mamahami dan menyelami perasaan orang lain dari perspektif mereka (Corey & Corey 1997; Rogers dlm Corey, Corey & Callahan 1998). Satu lagi kelebihan individu yang memiliki sifat empati adalah mampu mengembangkan potensi orang lain, selalu berkeinginan untuk memenuhi kepentingan orang lain, dan mampu memahami perasaan dan permasalahan kelompok serta pemegang kekuasaan dalam sebuah organisasi.

Stein dan Book dalam bukunya Emotional Intelligence and Your Success (2000) memberikan pandangan tentang empati iaitu kemampuan untuk menyadari, memahami dan menghargai perasaan serta fikiran orang lain. Dalam laras bahasa yang lain beliau juga mengemukakan, empati adalah “menyelaraskan diri” perhatian terhadap apa, bagaimana, serta memahami latar belakang perasaan serta fikiran orang lain, sebagaimana orang itu merasakan dan memikirkannya. Menurut beliau individu yang mempunyai sifat empati yang tinggi mampu memahami orang lain daripada persepektif individu itu, sangat peduli serta memperlihatkan keinginan dan perhatian yang tinggi terhadap orang tersebut.

Khairul ummah et al. (2003) menggambarkan sifat empati dengan istilah “peka, peduli, positif, dan partisipatif”. Sifat peka, peduli dan partisipatif menggambarkan tentang perhatian seseorang terhadap perubahan dan keadaan emosi orang lain. Seseorang yang memiliki kepekaan yang tinggi dapat merasakan kesulitan orang lain, seolah-olah dia sendiri yang merasakanya. Individu ini mampu memberikan solusi terbaik kepada orang yang menghadapi masalah. Sedangkan sifat positif menggambarkan tentang kemampuan seseorang untuk selalu berusaha berbicara secara positif dan menghindari penggunaan kalimat-kalimat negatif.

Tugas memimpin merupakan tugas yang sangat mulia, bagaimanapun kemuliaan seorang pemimpin itu tergantung kepada sikap dan komitmen yang ditunjukkannya. Seorang pemimpin mestilah mampu menjadikan dirinya sebagai contoh yang baik kepada masyarakat (umat), selalu melakukan rekfleksi terhadap kepemimpinanya, berakhlak mulia dan memiliki sifat empati yang tinggi terhadap masyarakat yang dipimpin (Parson & Stephenshon 2005). Dalam Islam tugas sebagai pemimpin merupakan perpanjangan tangan kepemimpinan yang dilakukan oleh Rasullah s.aw. Justeru, kunci keberhasilan Rasulullah dalam memimpin adalah menjadikan dirinya sebagai contoh utama kepada umat yang dipimpin. Kata kunci keberhasilan kepemimpinan Raslullah diabadikan sehingga hari ini [Jujur, Amanah, Berani menyampaikan kebenaran walaupun nyawa taruhanya, dan Cerdas dalam memimpin]. Hasil penelitian terkini menunjukkan bahwa diri Rasulullah merupakan pemimpin ulung dunia yang tidak ada tandinganya sehingga ke hari ini (baca 100 tokoh paling berpengaruh di dunia). Ketauladalan rasulullah tersebut diabadikan dalam Q.S. al-Ahzab; 21 seperti berikut ini:
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat, dan dia banyak menyebut nama Allah (Q.S. al-Ahzab; 21).

Skovholt dan Rozario (2005) menyatakan pemimpin yang memiliki sifat empati dan sosial skill yang baik, lebih disenangi oleh masyarakatnya ketimbang pemimpin yang tidak memiliki sifat itu. Menurut mereka pemimpin seperti itu lebih mudah berinteraksi dan memahami masyarakat, sehingga masyarakat merasa lebih nyaman di bawah kepemimpinanya. Sejalan dengan pendapat Skovholt dan Rozario, Ary Ginanjar (2005) juga menyatakan bahwa sifat empati sangat penting dalam meraih kesuksesan, baik dalam dunia bisnis apalagi birokrasi kepemimpinan. Menurut Ary Ginanjar permasalahan kronis yang dihadapi oleh pemimpin hari ini adalah masalah komitmen, empati, integritas, motivasi, kreativitas dan melanggengkan semangat kerja. Ary Ginanjar juga menyatakan, membina keterampilan teknis adalah lebih mudah ketimbang keterampilan empati tersebut, karena keterampilan ini berkaitan dengan sifat-sifat internal seseorang yang seyogyanya memang telah dibina semenjak dari kecil, bahkan sebagian teori psikologi mengatakan sifat empati sepatutnya dibina semenjak manusia masih di dalam kandungan.

Beberapa pakar psikologi berpandangan sifat empati bisa dibina (Bagsaw 2000; Dulewicz & Higghs 2004; Matthews, Roberts & Zeidner 2003; Patricia & Finian 2003). Pembinaan sifat empati berbeda dengan pembinaan kecerdasan intelektual (Goleman 1999). Goleman berpandangan bahwa kemampuan kognitif individu relatif tidak berubah, berbeda dengan sifat empati yang bisa dipelajari dan ditingkatkan sepanjang kehidupan seseorang. Bagaimanapun, persoalannya adalah“Apakah bentuk latihan yang sesuai untuk membina sifat empati itu?”. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa seseorang ataupun pemimpin yang terbiasa dengan kehidupan serba berkecukupan, kebiasaanya kurang sensitif dengan lingkungan sekelilingya, ini karena dirinya kurang merasakan kesusahan, kesengsaraan dan kepahitan hidup seperti mana yang dialami oleh orang-orang yang susah. Menurut Ary Ginanjar (2005) seseorang perlu melakukan latihan secara berkesinambungan (continuosly improvement) sehingga dapat membentuk satu keperibadian yang mempunyai sifat empati yang tinggi.

Noriah (2004) menggambarkan bahwa terdapat sebagian pemimpin yang bersikap kurang beretika dalam kepemimpinanya. Tindakan seperti ini tidak hanya memburukkan peribadi pemimpin tersebut, tetapi juga memberikan imej yang tidak baik kepada pemimpin-pemimpin yang sesungguhnya memiliki komitmen yang jernih dalam memimpin. Namun masyarakat telah terlanjur berasumsi dan salah dalam menilai, akibat ulah sikap sebagian pemimpin seperti itu. Kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah mereka tidak lagi menghayati tugas memimpin yang sebenarnya? Bukankah pemimpin-pemimpin itu seharusnya berempati terhadap masyarakat dan tugas kepemimpinanya? Goleman dalam Noriah (2005) menyatakan bahawa;

...cognitive intelligence may provide some individuals entry into particulas (work) setting, however emotional intelligence “empathy” could play a vital role in determining how successful they will be after entering the work setting .

Hasil penelitian di luar dan di dalam negri menunjukkan terdapat kepentingan empati di samping kecerdasan intelektual (IQ) di kalangan pemimpin (Ary Ginanjar 2003; Goleman 1995, 1999; Mohd Najib 2000; Noriah et al 2001; Noriah dan Siti Rahayah 2003; Noriah, Syed Najmuddin & Syafrimen 2003; Noriah et al. 2004; Skovholt & D'rozario 2000; Syafrimen 2004; Syed Najmuddin 2005; Wan Ashibah 2004; Zuria & Noriah 2003). Untuk itu, penting bagi para pemimpin memiliki keterampilan tersebut. Latihan berkaitan dengan empati perlu diberikan kepada calon-calon pemimpin karena sifat ini merupakan basic yang membolehkan mereka dapat memahami apakah yang sedang dirasakan oleh orang lain.

Penelitian Syafrimen menunjukkan terdapat beberapa cara untuk melatih sifat empati dalam diri seseorang. Pertama, melatih sifat empati dengan cara selalu melatih diri untuk memberikan perhatian terhadap kepentingan orang lain. Perhatian terhadap keadaan orang lain merupakan basic bagi seseorang untuk dapat memahami orang lain. Mustahil bagi seseorang dapat merasakan apa yang diarasakan orang lain, sekiranya dia tidak dapat memberikan perhatian terhadap orang tersebut. Perhatian bukan hanya sekedar dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, tetapi coba melakukan sesuatu untuk membantu orang tersebut dari permasalahan yang sedang dihadapi sesuai dengan kemampuanya. Individu yang selalu memberikan perhatian terhadap orang lain, berusaha mencarikan jalan penyelesaian walaupun kadang-kadang perlu mengikut sertakan orang-orang di luar dirinya. Penelitian Syafrimen ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Daniel Goleman (1999) yang mendapati seseorang yang mempunyai sifat perhatian dalam dirinya mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sosial, dan dapat memahami dengan tepat situasi yang terjadi pada lingkungan tersebut. Individu ini tidak berhenti sampai di sini, malah coba melihat peluang apakah yang bisa diberikan terhadap lingkungan sekiranya ada sesuatu yang perlu dibetulkan. Kalau dikaitkan dengan diri seorang pemimpin, perhatian terhadap keadaan orang lain sebenarnya merupakan basic yang sangat penting untuk menjadikan pemimpin tersebut sebagai seorang pemimpin yang baik (Chernis 1998; Corey, Corey & Callahan 2003; Goleman 1999; Katzenbach 2000; Muhibbin Syah 1995; Tajudin Ninggal 2003; Shahbani 2005).

Taufiq Pasiak (2007) juga menyatakan seseorang yang selalu perhatian terhadap orang lain, menjadikan hatinya lebih baik dan lebih sensitif dengan keadaan orang lain itu. Dari segi kesehatan juga didapati individu seperti ini lebih sehat ketimbang individu yang kurang sensitif dengan keadaan orang lain, individu yang hanya sibuk memikirkan diri sendiri dan tidak peduli dengan lingkungan. Kenapa hal ini bisa terjadi? Taufiq menyatakan individu yang sensitif dengan keadaan orang lain selalu memperbaiki dirinya terlebih dahulu sebelum mengulurkan bantuanya kepada orang lain. Individu seperti ini dilihat sebagai seorang yang mempunyai nilai tinggi oleh lingkunganya. Nilai tersebut merupakan obat yang paling mujarab untuk meningkatkan kekebalan pada tubuh seseorang. Keadaan inilah yang mempengaruhi kesehatan mereka. Realita kehidupan memang membuktikan, sekiranya seorang pemimpin merasa tidak bernilai ataupun tidak berguna di tengah-tengah masyarakatnya, bisa menimbulkan stres pada dirinya. Apabila selalu dalam keadaan stres maka penyakit lain mudah menyerang (Taufiq Pasiak 2007; Zinah Ahmad & Hamdan Mohd. Ali 2006).

Jika dikaitkan dengan pandangan Islam perhatia terhadap keadaan orang lain (empati) memang dinilai sebagai perbuatan yang sangat baik dan bisa mendatangkan pertolongan Sang Khaliq terhadap individu yang memiliki sifat tersebut. Seperti dinyatakan dalam al-Qur’an; Q.S Muhammad; 7:

Sesiapa yang menolong Agama Allah maka Allah akan menolong mereka (Q.S Muhammad; 7).

Orang-orang yang menolong Agama Allah yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah termasuk orang yang perhatian terhadap kepentingan hamba-hamba Allah, yang bertugas sebagai khalifah di muka bumi ini. Jikalau Allah menghendaki, sesuatu yang tidak terfikirkan oleh akal kita bisa saja terjadi, kerana Dia yang Maha tahu, dan Dia Bisa melakukan sesuatu berdasarkan kehendaknya, yang kemungkinan tidak terjangkau oleh akal fikiran manusia.

Kedua, melatih sifat empati dengan cara selalu melatih diri untuk bertoleransi dan merendahkan ego dengan orang lain. Individu yang selalu melihat dirinya lebih daripada orang lain, ataupun sering dikatakan sebagai individu yang egois, dalam realita kehidupan memang sering dilihat kurang sensitif ataupun kurang peka dengan keadaan orang lain. Individu seperti ini biasanya mempunyai hati yang keras, berat bagi dirinya untuk berada pada posisi sejajar dengan orang lain, apa lagi pada posisi di bawah orang lain. Dia merasakan dirinya lebih hebat, lebih berkemampuan ketimbang orang lain. Keadaan ini yang menjadikan dirinya sulit memahami perasaan orang lain. Ciri-ciri individu yang mudah bertoleransi dan merendahkan ego selalunya mudah memberikan penghargaan kepada orang lain, memberikan perhatian yang tulus, mau mendengarkan orang lain apabila bercerita tentang dirinya, senantiasa membuat orang lain penting di hadapanya, mudah meminta maaf apabila merasa bersalah, ringan lidahnya untuk mengucapkan terima kasih kepada orang lain, mudah memberikan pujian kepada orang lain, dan selalu berusaha memahami perasaan orang lain (Ary Ginanjar 2005). Individu yang memiliki ciri-ciri ini tentunya sangat mudah memahami orang lain, kerana dia melihat orang lain sangat berharga di hadapannya, menyayangi orang lain sama seperti menyayangi diri sendiri.

Individu yang mudah bertoleransi dan merendahkan ego kebiasaanya memiliki prinsip selalu memberi dan mengawali (Ary Ginanjar 2005). Prinsip memberi dan mengawali merupakan prinsip Bismillah. Kalau diperhatikan dalam Al-Qur’an semua awal-awal surah diawali dengan bismillahirrahmanirrahiim. Kalimat ini bermaksud “dengan nama Allah yang Maha pengasih lagi Maha penyayang” Pengasih dan penyayangnya Allah tidak ada yang dapat menandingi, Allah tidak hanya mengasihi dan menyayangi umat yang patuh terhadap Agamanya, tetapi Allah mengasihi semua makhluk ciptaanya. Dengan perkataan lain tidak pilih kasih. Kasih dan sayang Allah adalah kasih dan sayang yang tulus, ikhlas yang tiada tandingnya, dan tidak pernah meminta balasan kasih sayang yang diberikan. Inilah yang dimaksudkan dengan prinsp Bismillah iatu prinsip selalu memberi dan memulai. Disadari ataupun tidak Allah telah menjanjikan bahawa Dia akan membalas setiap perbuatan yang dilakukan oleh hamba-hambanya, seperti dinyatakan berikut ini:

... maka barangsiapa yang melakukan kebaikan walaupun sebesar biji Zarah, Ia pasti akan melihatnya! Dan barang siapa melakukan kejahatan walaupun sebesar biji Zarah, Ia juga pasti akan melihatnya (QS. al-Zalzalah: 7-8).

Cara ketiga yang dihasilkan oleh penelitian Syafrimen untuk pembinaan sifat empati adalah dengan cara melatih diri selalu ”fleksibel terhadap orang lain”, iaitu kesediaan seseorang untuk menerima orang lain dalam pelbagai keadaan. Dalam istilah lain sering juga disebut menerima orang lain tanpa syarat. Dalam realita kehidupan memang dapat dibuktikan bahwa seseorang yang dapat menerima orang lain tanpa syarat, sangat mudah untuk memahami keadaan orang lain, kerana individu seperti ini melihat orang lain bukan menurut ukuran dirinya tetapi dia coba memahami orang lain berdasarkan keadaan orang tersebut. Inilah yang menyebabkan dirinya sangat mudah untuk memahami orang lain. Ini juga sejalan dengan pandangan Daniel Goleman (1999) yang menyatakan individu yang memiliki sifat fleksibel berkemampuan untuk menditeksi perasaan orang lain dari perspektif orang tersebut. Menunjukkan keinginan yang mendalam terhadap kehendak dan masalah yang dihadapi oleh orang lain. Dirinya sangat sensitif terhadap tingkah laku yang ditunjukkan oleh seseorang, dan berminat mendengarkan pelbagai masalah yang diceritakan seseorang kepadanya.

Seperti yang disentuh sebelum ini, termasuk salah satu ciri seseorang yang memiliki sifat empati adalah mampu mengembangkan potensi orang lain. Pemimpin memang seharusnya memiliki sifat ini, karena banyak potensi yang harus diperhatikan dan dikembangkannya. Pemimpin yang memiliki sifat ini berprinsip bahwa keberhasilan memimpin dapat dilihat sejauhmana dirinya dapat mengakomodir ataupun mengambangkan potensi-potensi yang ada di sekelilingya. Dengan perkataan lain, pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang dapat membantu orang lain berhasil selama dalam proses kepemimpinanya. Inilah yang disebut dalam Islam sebagai konsep “Rahmatan Lil ’Aalamin” iaitu prinsip keberhasilan untuk semua orang. Pemimpin yang memiliki prinsip ini, merasa tidak nyaman sekiranya orang-orang di sekelilingnya tidak dapat dia bantu untuk memperolehi keberhasilan secara bersama-sama. Inilah yang dimaksudkan oleh Q.S. al-Qashas: 84 yang bermaksud;

Sesiapa yang membawa kebaikan, pahalanya adalah lebih baik daripada kebaikan yang dia lakukan...(QS. al-Qashas: 84)

Syafrimen menyatakan, beberapa langkah untuk mengembang potensi orang lain adalah: pertama, mengembangkan potensi orang lain dengan cara memberikan peluang mereka. Memberikan peluang kepada orang lain secara tidak langsung telah memberikan keyakinan kepada mereka untuk membuktikan kemampuan yang dia miliki. Individu yang diberikan peluang untuk bertanggungjawab terhadap suatu pekerjaan, cara penerimaan dan cara mereka melaksanakan pekerjaan tersebut akan berbeda daripada mereka bekerja di bawah pantauan orang lain. Secara tidak langsung cara seperti ini merupakan kaedah untuk mengembangkan potensi orang lain. Menurut Gray (2001) memberikan peluang kepada orang lain untuk mencoba sesuatu, dengan tujuan mengembangkan potensi diri mereka sebenarnya merupakan tanggungjawab bagi setiap pemimpin. Menurut beliau apabila seorang pemimpin merasakan bahwa mengembangkan potensi orang lain merupakan tanggungjawab, maka dirinya akan merasa bangga dan bahagia melihat orang lain berhasil.

Inilah salah satu kelebihan pemimpin yang memiliki sifat empati, yaitu dirinya bahagia melihat keberhasilan orang lain. Dia merasakan kebahagiaan orang yang berhasil itu sebagai kebahagiaan dirinya sendiri, karena pemimpin ini melihat orang lain adalah bahagian dari dirinya yang mesti dibantu sebagaimana membantu dirinya sendiri (Gray 2001, Al-hadits). Menurut Gray keberhasilan peribadi adalah rasa bahagia yang dimiliki oleh seseorang, dan berhak dalam proses melaksanakan sesuatu hal yang ingin dilakukan. Berhak dalam proses melakukan hal yang ingin dilakukan bukan bermakna hidup tanpa aturan, maknanya di sini adalah bertindak berdasarkan prinsip kebenaran. Justeru, apabila seseorang memberikan peluang kepada orang lain untuk membantu mengembangkan potensi dirinya sebenarnya dia telah memberikan kebahagiaan kepada dirinya sendiri, kerana ini merupakan fitrah manusia (Al-Qur’an).

Selanjutnya mengembangkan potensi orang lain dengan cara “memberikan kesadaran”. Al-Ghazali mengelompokan manusia kepada empat kelompok besar, salah satunya adalah ”kelompok orang yang tahu, tetapi dia tidak tahu bahwa dirinya tahu”. Dalam relalita kehidupan memang sering dilihat kelompok orang seperti ini. Orang seperti ini memerlukan orang lain untuk mengingatkan mereka, karena dia tidak menyadari bahwa dirinya mempunyai potensi untuk berkembang lebih baik dari apa yang didapatkan sekarang. Menurut Goleman (1999) individu seperti ini dikaitkan dengan individu yang rendah kesadaran terhadap diri sendiri ataupun kurang memiliki kreativitas untuk menilai kekuatan dan kelemahan dirinya. Justeru, individu seperti ini membutuhkan orang lain untuk memberikan kesadaran supaya dia dapat melihat kembali potensi yang dimilikinya.

Dalam Islam kaedah ini menjadi unggulan Rasulullah saw untuk membina umatnya sama-sama menuju keberhasilan. Seperti dinyatakan dalam Q.S. Ali-Imran: 104:

Dan hendaklah diatara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. Ali Imran: 104).

Menyeru kepada kebajikan termasuk memberikan peringatan kepada orang-orang yang tidak dapat melihat potensi dirinya dengan baik. Individu yang menggunakan pendektan ini dikaitkan dengan keberuntungan. Keberuntungan dimaksudkan adalah keberhasilan individu tersebut mengingatkan kembali individu yang selama ini kurang melihat potensi yang dimiliki dalam dirinya. Langkah-langkah yang sampaikan dalam penulisan ini sejalan dengan langkah-langkah yang dilakukan oleh orang-orang yang berhasil membantu mengembangkan potensi orang lain.


Rujukan
Corey, M. S. & Corey, G. 1997. Groups: Process and practice. Ed. Ke-5. Pcific Grove: Brooks/Cole Publishing Company.

Corey, Corey dan Callanan. 2003. Issue and ethics in helping profession, 5th Brookes/Cole Pub. Co. Pacific Grove.

Dulewicz,V.& Higgs, M. 2004. Can emotional intelligence be developed? Journal of Human Ressource management. 15:95-111.

Goleman. D. 1996. Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam Books.

Goleman. D. 1999. Working with emotional intelligence. New York: Bantam Books.
Trikantojo Widodo. 1999. Jakarta: PT.Gramedia Utama.

Goleman. D. 1999. Kecerdasan emosi untuk mencapai puncak prestasi. Terj. Alex.

Goleman. D., Boyatzis, R. & Mckee, A. 2002. The new leaders: Transforming the art of leadership into the science of results. London: A Little, Brown Book.

Ginanjar, A. A., 2005. Rahasia sukses membangkitkan ESQ power: sebuah inner journey melalui al-ihsan. Jakarta: Arga.

Ginanjar, A. A., 2003. Rahasia sukses membangkitkan ESQ power: sebuah inner journey melalui al-ihsan. Jakarta: Arga.

Goleman. D. 1995. Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam Books.

Khadim al-Haramain Asy Syarifain. Al-Qur’an dan terjemahnya. Madinah Al-Munawwarah: Perpustakaan Su‘udi.

Noriah, M.I., Zuria,M, Siti Rahayah, A. dan Manisah M.A. 2003. Hubungan antara Tanggungjawab Kepada Diri, Pelajaran, Pelajar dan Masyarakat di Kalangan Guru-guru. Prosiding seminar kebangsaan profession pergurun 2003. Bangi: Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Noriah, M.I., Zuria,M, Siti Rahayah.A., dan Manisah, M.A. 2002. Hubungan antara tanggungjawab kepada diri, pelajaran, pelajar dan masyarakat di kalangan guru-guru. Jurnal Pendidikan. Jilid 24: 548-555.

Noriah M.I., Zuria, M. 2003. Kepintaran Emosi di Kalangan Pekerja di Malaysia. Prosiding IRPA- RMK-8 Kategori EAR. Jilid 1: 184-187­­­­­­­­­­­­.

Noriah, M.I., Syed Najmuddin, S.H. dan Syafrimen. 2004. Guru dan kepintaran emosi: Implikasi ke atas kebolehan guru dalam menangani masalah sosial pelajar. Prosiding seminar kebangsaan ke-3 psikologi dan masyarakat. Bangi: Pusat penerbitan dan teknologi pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Noriah, M.I. 2005. Pengurusan kecerdasan emosi (EQ) dan pembangunan kendiri pelajar. Prosiding seminar kepengetuaan kebangsaan ke-4. Kuala Lumpur; Universiti Malaya.
Parson, M & Stephenson, M. 2005. Developing reflective in student teachers: collaboration and critical partnerships.

Khairul Ummah et al. 2003. Kecerdasan Miliyuner. Bandung: Aha.
Taufiq Pasiak. 2007. Brain management for self improvement. Bandung: P.T. Mizan.

Tuesday, April 13, 2010

Kepintaran Emosi & Hubunganya dengan Nilai Kerja

Kepintaran Emosi & Hubunganya dengan Nilai Kerja

Prof. Madya. Dr. Noriah Mohd. Ishak
Prof. Madya. Dr. Datin Siti Rahayah Ariffin
Dr. Syed Najmuddin Syed Hassan

Fakuti Pendidikan
Universiti Kebangsaan Malaysia
norwmu@hotmail.com
sitira@pkrisc.cc.ukm.my

Abstrak

Kajian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kepintaran emosi dengan nilai kerja di kalangan guru-guru sekolah menengah. Kajian berbentuk tinjauan ini melibatkan 91 orang guru-guru yang mengajar di sekitar negeri Melaka. Data telah dikumpulkan menggunakan dua jenis soalselidik iaitu: Soalselidik Emotional Quotient dan Soal selidik Nilai Kerja. Data yang dikumpul dianalisis menggunakan Pearson Correlation Product Moment untuk melihat hubungan antara kedua pembolehubah yang dikaji. Hubungan antara kepintaran emosi dengan nilai kerja juga di lihat di kalangan guru-guru lelaki dan perempuan serta tempoh pengalaman mengajar. Secara umumnya dapatan kajian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kepintaran emosi dan nilai kerja. Hubungan antara kedua pembolehubah juga didapati signifikan di kalangan guru lelaki dan perempuan. Walau bagaimanapun nilai pekali korelasi tersebut didapati lebih tinggi untuk guru-guru lelaki. Korelasi yang signifikan juga di dapati wujud bagi guru-guru yang mempunyai pengalaman tempoh mengajar yang berbeza.


A. Pengenalan

Sejak kebelakangan ini, media massa banyak menyiarkan tentang masalah cetusan emosi (emotional outburst) yang berlaku dalam kehidupan seharian seseorang. Cetusan emosi ini dilaporkan timbul dalam suasana pekerjaan dan juga kehidupan peribadi. (New Straits Times, 14 Mac 2002: Berita Harian , Jun 2001). Beberapa contoh peristiwa cetusan emosi yang berlaku dalam persekitaran pekerjaan yang telah dilaporkan oleh media massa, umpamanya, seorang guru besar didapati telah membaling komputer dari tingkat satu ke tingkat bawah bangunan sekolah akibat salah faham. Terdapat juga contoh yang melibatkan perhubungan guru-pelajar, dimana seorang guru telah didapati menampar pelajarnya yang dikatakan terlalu banyak bercakap dalam kelas. Perbuatan beliau telah menimbulkan rasa takut pelajar untuk datang ke sekolah (Berita Harian, Jun 2001). Peristiwa sedemikian juga telah menimbulkan kemarahan ibubapa terhadap pihak sekolah yang kelihatan tidak dapat membendung tingkahlaku agresif guru-guru. Persoalannya ialah, kenapa cetusan emosi ini terjadi? Adakah ianya timbul daripada faktor persekitaran atau adakah ianya tercetus daripada faktor peribadi seperti kebolehan seseorang mengawal emosi?.

Goleman (1995) menyatakan bahawa seseorang yang tidak mempunyai keupayaan mengawal emosi apabila berinteraksi dengan orang lain tidak akan berasa bermotivasi untuk menjalankan kerja dengan baik. Mereka juga tidak boleh digolongkan kepada individu yang berjaya dalam kerjaya masing-masing. Peristiwa-peristiwa cetusan emosi yang digambarkan, terutama yang berlaku di tempat kerja, membawa implikasi kepada tahap kestabilan dan kematangan emosi yang dimiliki oleh individu-individu yang terlibat. Persoalannya, adakah tahap kestabilan emosi ini boleh diukur secara empirikal selain daripada melihat kesannya ke atas tingkahlaku seseorang? Adakah ianya merupakan satu bentuk kecerdasan yang boleh diukur?

Menurut Goleman (1999) kecerdasan emosi adalah satu yang diperlukan oleh seseorang untuk berjaya dalam kerjaya. Ianya juga berkait rapat dengan nilai kerja yang dipegang oleh seseorang dan memberikan kesan ke atas prestasi kerja individu tersebut. Goleman (1995) telah mengemukakan satu teori untuk menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi emosi seseorang. Teori tersebut dikenali sebagai Teori Kecerdasan Emosi. Teori ini dapat menerangkan faktor kegagalan dan kejayaan seseorang dalam kehidupan peribadi dan kerjaya masing-masing.

Kajian Skovholt dan D’Rozario (2000) berhubung dengan guru cemerlang dan guru lemah mendapati guru cemerlang lebih disukai oleh pelajar. Mereka didapati mempunyai atribusi atau domain kecerdasan emosi seperti empati dan kemahiran sosial. Kajian ini juga menunjukkan bahawa guru-guru cemerlang tersebut juga mempunyai tahap kepintaran interpersonal dan intrapersonal yang tinggi. Kedua-dua faktor ini merupakan domain personal dalam teori “kecerdasan pelbagai” (multiple intelligence) yang dicadangkan oleh Gardner (1983).
Dapatan-dapatan kajian di atas menunjukkan salah satu nilai yang membentuk kestabilan emosi ialah kasih sayang. Nilai penyayang adalah merupakan salah satu faktor yang disarankan dalam nilai utama etika kerja Kementerian Pendidikan Malaysia (Kementerian Pendidikan Malaysia 2002). Nilai penyayang ini dimaksudkan sebagai perasaan dan perlakuan yang menunjukkan sikap memahami menghargai dan mengambil berat. Contoh-contoh sikap tersebut adalah seperti bersifat pemaaf dan penyayang , tidak berdendam, tidak sombong atau meninggi diri. Seorang guru yang penyayang juga disarankan juga untuk menghormati orang lain tanpa sebarang prasangka buruk. Mereka juga haruslah bersifat bertimbang rasa dan mahu mengambil berat dalam melaksanakan tugas seharian mereka. Selain itu guru-guru juga disarankan supaya menjadikan organisasi sebagai sebuah keluarga besar yang penuh kemesraan dan bersifat simpati dan empati dalam menjalankan tugas. Salah satu aspek kepintaran emosi yang dicadangkan oleh Goleman (1995, 1999) ialah kemahiran bersosial dan berempati. Ini selaras dengan nilai kerja penyayang yang disarankan oleh Kementerian Pendidikan Malaysia. Justeru, seorang guru yang tidak ada kemahiran berinteraksi dengan orang lain serta tidak boleh menunjukkan sifat berempati mempunyai tahap kecerdasan emosi yang rendah.

B. Pernyataan Masalah

Profesion perguruan adalah profesion yang tidak mempunyai pembahagian masa yang jelas antara masa bekerja dan masa tidak bekerja. Menurut Noriah (1994) keadaan sedemikian boleh mewujudkan tekanan kepada guru-guru. Selye (1969) menyatakan bahawa tekanan yang berpanjangan boleh membawa kepada gangguan emosi di tahap yang berbeza-beza daripada tahap rendah hingga ke tahap serius. Ini akan mewujudkan emosi yang pelbagai seperti bosan, lesu, marah, kecewa dan benci (Muchinsky, 1997).

Tugas guru merupakan tugas yang kompleks dan mencabar. Mereka bukan sahaja perlu mengajar, malah perlu melakukan kerja-kerja pengkeranian dan pentadbiran, menjalankan aktiviti kokurikulum dan juga melibatkan diri secara aktif dalam Persatun Ibu-Bapa dan Guru (Noriah 1994). Disamping kerja-kerja yang dinyatakan, guru juga perlu berinteraksi dengan pelajar-pelajar secara fizikal, dan emosi semasa proses pengajaran dan pembelajaran (Mohd Najib 2000). Kenyataan ini disokong oleh Newton dan Newton (2001) yang mengatakan guru perlu banyak berkomunikasi dan berinteraksi dengan pelajar dalam kelas. Polloway, Patton dan Serna (2001) juga mengakui kepentingan kemahiran sosial bagi guru yang mengajar dan juga melatih pelajar dalam kemahiran sosial. Justeru, kebolehan guru berinteraksi dengan pelajar dipengaruhi oleh keadaan emosi guru.
Contoh-contoh cetusan emosi yang dilaporkan berlaku di kalangan guru-guru menunjukkan bahawa tahap kestabilan emosi guru-guru tersebut tidak ditahap yang stabil. Adakah ini menunjukkan bahawa terdapat guru-guru yang tidak mampu mengawal emosi kendiri atau adakah wujud faktor-faktor persekitaran lain yang mengurangkan kestabilan emosi mereka? Adakah kecerdasan emosi guru memberi kesan kepada nilai kerja mereka?

Kajian-kajian tentang kecerdasan emosi banyak dijalankan di Barat tetapi amat kurang di Malaysia. Tinjauan literatur yang dijalankan menunjukkan bahawa kajian berhubung dengan kecerdasan emosi tertumpu kepada kecerdasan emosi pelajar-pelajar (Inday 2000; Noriah et al. 2001). Hanya kajian Mohd Najib Ghaffar (2000) sahaja yang memberi tumpuan terhadap kestabilan emosi guru sedangkan kajian-kajian di luar negara (Polloway et al. 2001; Skovholt & D’Rozario 2000) menunjukkan kestabilan emosi guru mempengaruhi proses pengajaran dan pembelajaran. Kekurangan kajian kecerdasan emosi di Malaysia terutamanya kajian ke atas guru membantutkan usaha-usaha mengenal pasti masalah-masalah guru. Jadi, sudah tiba masanya kajian tentang kecerdasan emosi (EQ) guru dilakukan supaya program pembaik pulih atau intervensi dapat diadakan bila timbul masalah.

C. Teori kecerdasan emosi oleh Goleman (1995)
Goleman (1999) menyarankan lima faktor atribusi terhadap kecerdasan emosi. Faktor-faktor tersebut ialah: (1) Kesedaran Kendiri (self-awareness), (2) Pengawalan Kendiri (self-regulation), (3) self-motivation, (4) empathy dan (5) social skills. Faktor atribusi pertama iaitu kesedaran kendiri bermaksud kebolehan seseorang untuk mengetahui perasaan mereka dalam satu-satu situasi dan keupayaan mereka untuk memilih keutamaan panduan dalam membuat keputusan. Seseorang yang mempunyai kesedaran kendiri juga mempunyai penilaian yang realistik tentang keupayaan diri dan mereka mempunyai keyakinan diri yang utuh.

Pengawalan Kendiri (Self-regulation) dimaksudkan sebagai kebolehan mengurus emosi agar ianya memudahkan dan bukannya mengganggu dalam menyelesaikan tugasan. Individu yang boleh mengawal diri mereka sentiasa berhemat dan boleh menangguhkan sementara perasaan mereka untuk memuaskan hati dalam mengejar matlamat. Individu sedemikian juga cepat pulih daripada tekanan emosi. Individu yang mempunyai motivasi kendiri (Self-motivation) berupaya menggunakan kehendak utama hati dalam menggerak dan memandu arah mereka untuk mencapai tujuan. Motivasi kendiri boleh membantu seseorang dalam mengambil inisiatif dan bersungguh-sungguh untuk memperbaiki diri. Individu dengan motivasi kendiri yang tinggi sentiasa tabah apabila menghadapi masalah atau dalam keadaan kekecewaan yang tinggi.

Empati merupakan faktor atribusi yang boleh membantu seseorang mengesan perasaan orang lain. Sifat berempati juga membolehkan seseorang melihat atau memahami sudut pandangan orang lain dari perspektif merekadan. Sifat ini juga boleh menjadi faktor pencetus dan penyubur kemesraan dan keserasian dengan individu dari pelbagai latar belakang. Individu yang mempunyai sifat empati boleh menyelami keperitan, kesusahan, kekecewaan atau keraguan seseorang terhadap sesuatu perkara. Rogers (dalam Corey, Corey & Callahan 1998) menyatakan bahawa seseorang yang boleh menunjukkan sifat berempati akan lebih mudah berinteraksi dengan orang lain terutama dalam proses membantu seseorang.

Faktor atribusi terakhir yang dicadangkan oleh Goleman (1999) ialah kemahiran bersosial (Social Skills). Beliau menyatakan bahawa faktor kemahiran bersosial ini membolehkan seseorang mengurus pelbagai emosi secara efektif dalam perhubungan. Mereka juga mampu mentafsir dengan tepat situasi sosial dan jaringannya selain daripada mahir memujuk dan memimpin. Seseorang yang mempunyai kemahiran bersosial yang berkesan juga mampu menjadi pakar runding yang baik disamping berkebolehan menyelesaikan konflik untuk mewujudkan kerjasama dan semangat berpasukan apabila bekerja dalam sesebuah organisasi.

D. Persoalan kajian

Kajian ini berpandukan kepada tiga soalan, iaitu:
1. Apakah hubungan antara kecerdasan emosi dengan nilai kerja guru? 2. Adakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan nilai kerja di kalangan guru-guru berlainan jantina? 3. Adakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan nilai kerja di kalangan guru-guru yang telah berkhidmat lebih atau kurang daripada 10 tahun?

E. Metodologi

Kajian ini menggunakan kaedah tinjauan yang mana responden menjawab dua set soal selidik. Menurut Fink (1995), reka bentuk kajian deskriptif menghasilkan data atau maklumat tentang populasi dan fenomena yang telah wujud. Pemerolehan data secara deskriptif dapat dipungut pada masa yang ditentukan oleh pengkaji (Fink, 1995; Wiersma, 2000 dan Ary, Jacobs & Razavieh, 1996). Justeru, instrumen yang dibina ini dapat digunakan untuk mengumpul maklumat tentang kecerdasan emosi guru-guru yang dikaji.

E.i. Sampel kajian

Sampel kajian ini adalah terdiri daripada guru-guru MRSM. Mereka adalah terdiri daripada guru berijazah sarjana muda dan sebahagian kecilnya berijazah sarjana. Sebahagian besar guru-guru ini adalah berbangsa Melayu dan sebahagian kecil sahaja daripada bangsa-bangsa lain. Mereka berkhidmat di bawah Majlis Amanah Rakyat (MARA) sebuah badan berkanun di bawah Kementerian Pembangunan Usahawan.

Sembilan puluh satu orang guru (lelaki=26, perempuan=65) dipilih secara rawak mudah berdasarkan senarai yang disediakan oleh Bahagian Pendidikan Menengah (BPM) MARA. Daripada jumlah tersebut seramai 50 orang telah berkhidmat kurang daripada 10 tahun, manaka 41 orang pula telah berkhidmat lebih atau sama dengan sepuluh tahun. Guru-guru tersebut telah dipilih secara persampelan mudah.

E.ii. Instrumen Kajian

Kajian ini menggunakan dua set soalselidik. Kedua-dua set soalselidik tersebut adalah seperti berikut: a. Soal Selidik EQ b. Soal Selidik Nilai Kerja. Nilai kebolehpercayaan untuk soalselidik Kecerdasan Emosi yang digunakan ialah 0.9145, manakala kebolehpercayaan bagi soalselidik Nilai kerja ialah 0.8293. Untuk menentukan kesahan muka, pandangan pakar telah digunakan.

F. Dapatan Kajian

Daripada analisis yang dijalankan, nilai korelasi yang diperolehi adalah signifikan pada aras 0.05 (r = 0.364, p = 0.00 < 0.05). Nilai ini menunjukkan kekuatan hubungan yang sederhana antara kedua pembolehubah yang di kaji. Justeru, nilai kecerdasan emosi yang tinggi akan menghasilkan nilai kerja yang tinggi. Nilai indeks penentu (coefficient of determination) r²= 0.19. Ini bermakna 19 % varians daripada kecerdasan emosi menyumbang kepada varians nilai kerja.

Hasil analisis untuk melihat korelasi antara kecerdasan emosi dan nilai kerja bagi guru lelaki dan perempuan, didapati nilai korelasi yang diperolehi bagi guru lelaki adalah signifikan pada aras 0.05 (r = 0.388, p = 0.05 < 0.05). Nilai ini juga menunjukkan kekuatan hubungan yang sederhana antara kedua pembolehubah yang di kaji. Justeru, nilai kecerdasan emosi yang tinggi akan menghasilkan nilai kerja yang tinggi bagi guru-guru tersebut. Nilai indeks penentu (coefficient of determination) r² = 0.15. Ini bermakna 15 % varians daripada kecerdasan emosi menyumbang kepada varians nilai kerja.

Nilai korelasi yang diperolehi bagi guru perempuan pula adalah signifikan pada aras 0.05 (r = 0.362, p = 0.003 < 0.05). Nilai ini menunjukkan kekuatan hubungan yang sederhana antara kedua pembolehubah yang di kaji. Justeru, nilai kecerdasan emosi yang tinggi akan menghasilkan nilai kerja yang tinggi juga. Nilai indeks penentu (coefficient of determination) r²= 0.13. Ini bermakna 13 % varians daripada kecerdasan emosi menyumbang kepada varians nilai kerja.

Hasil ujian korelasi antara kecerdasan emosi dan nilai kerja berdasarkan tempoh berkhidmat, menunjukkan nilai korelasi yang diperolehi bagi guru-guru yang telah berkhidmat kurang daripada sepuluh tahun adalah signifikan pada aras 0.05 (r = 0.495, p = 0.00 < 0.05). Nilai ini menunjukkan kekuatan hubungan yang sederhana tinggi antara kedua pembolehubah yang di kaji. Justeru, nilai kecerdasan emosi yang tinggi akan menghasilkan nilai kerja yang tinggi juga. Nilai indeks penentu (coefficient of determination) r²= 0.25. Ini bermakna 25 % varians daripada kecerdasan emosi menyumbang kepada varians nilai kerja. Hasil ujian juga menunjukkan korelasi antara kecerdasan emosi dan nilai kerja bagi guru-guru yang telah berkhidmat lebih daripada sepuluh tahun. Nilai korelasinya adalah tidak signifikan pada aras 0.05 (r = 0.181, p = 0.257 < 0.05). Nilai indeks penentu (coefficient of determination) r² = 0.03. Ini bermakna hanya 3 % varians daripada kecerdasan emosi menyumbang kepada varians nilai kerja.

G. Perbincangan dan Kesimpulan

Kekuatan korelasi antara kecerdasan emosi dan nilai kerja di kalangan guru-guru adalah tinggi mungkin disebabkan oleh pendedahan guru-guru ini dalam menjalankan tugasan mendidik, mentadbir dan menjalankan urusan pengajaran dan pembelajaran. Nilai kecerdasan emosi yang tinggi telah menghasilkan nilai kerja yang tinggi juga, di mana dapatan kajian ini menyokong kajian Skovholt dan D’Rozario (2000) dan Goleman (1995) yang mendapati guru yang berupaya mengawal emosi akan bermotivasi untuk menjalankan kerja dengan baik.

Dapatan kajian juga menunjukkan kekuatan hubungan antara kecerdasan emosi dan nilai kerja bagi guru lelaki dan perempuan adalah signifikan. Walau bagaimanapun kekuatan hubungan bagi guru lelaki adalah lebih tinggi daripada guru perempuan. Sementara hubungan antara kecerdasan emosi dengan nilai kerja di kalangan guru-guru yang baru berkhidmat menunjukkan hubungan yang signifikan. Ini bermakna guru-guru yang telah lama berkhidmat tidak semestinya menunjukkan hubungan antara kecerdasan emosi dengan nilai kerja mereka. Guru-guru seharusnya diberi latihan untuk menunjukkan kecerdasan emosi yang stabil untuk menghasilkan nilai kerja yang baik. Ini adalah selaras seperti yang telah disarankan oleh ramai pengkaji seperti Polloway et al. (2001), Skovholt dan D’Rozario (2000) dan Mohd Najib Ghaffar (2000).

Rujukan

Anita Anandarajah. 2002. Born loser? Think again! New Straits Times, 15 Mac:1
& 3.

Ary, D., Jacobs, L.C. & Razavieh, A. 1996. Introduction to research in education.
Ed.ke-5. Fort Worth: Harcourt Brace College Publishers.

Ausubel, D.P. 1968. Educational psychology: a cognitive view. New York: Holt,
Rhinehart and Winston, Inc.

Brewer, C & Campbell, D. G. 1991. Rhythms of learning: creative tools for developing lifelong skills. Tucson, Arizona: Zephyr Press.

Brown, B.L. 1999. Emotional intelligence: keeping your job. Trends and Issues Alert No. 9 (CD-ROM) ERIC 1992-Jun 2001.(24 Januari 2002)

Coopers, C. 1999. Intelligence and abilities. London: Routledge.

Cottone, R.R. & Tarvydas, V.M. 1998. Ethical and professional issues in counseling. Upper Saddle River, New Jersey: Merrill Prentice Hall.

DuBois, N. F., Alverson, G.F. & Staley, R.K. 1979. Educational psychology and instructional decisions. Homewood, Illinois: The Dorsey Press.

Elias, M.J., Zinns, J.E. Weisberg, R.P., Frey, K.S. Greenberg, M.T., Hanes, N.M., Kessler, R., Schwabb-Stone, M.E. & Shriver, T.P. 1997. Promoting social and emotional learning: guidelines for educators. Alexandria, VA: ASCD.

Fink, A. 1995. How to design surveys. Thousand Oaks: SAGE Publications.

Gardner, H. 1983. Frames of mind. London: St Edmundsbury Press.

Goleman, D. 1995. Emotional intelligence. New York: Bantam Books.

Goleman,D. 1999. Working with emotional intelligence. New York: Bantam Books.

Goleman, D. 2001. Emotional intelligence: Issues in paradigm building. Dlm Cherniss, C. dan Goleman, D. (pnyt.) 2001. The emotionally intelligent workplace (atas talian) http://www.eiconsortium.org (28 Mac 2002).

Gore, S. W. 2000. Enhancing students emotional intelligence and social adeptness. (CD-ROM) ERIC 1992-Jun 2001 (24 Januari 2002).

Guru Besar mengamuk ditahan. 2000. Berita Harian, 24 Ogos.

Guru di England hadapi beban kerja berlebihan. 2002. Utusan Malaysia, 4Januari: 3.

Hassan Langgulung. 1991.Asas-asas pendidikan Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Hussein Hj Ahmad. 1993. Pendidikan dan masyarakat: Antara dasar, reformasi dan wawasan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Ibu bapa enggan maaf guru denda murid. 2000. Berita Harian, 21 November.

Johnson, K. S. 2000. Affective components in the education of the gifted. Gifted Child Today Magazine 23(4):36-40 (CD-ROM) ERIC 1992-Jun 2001 (24 Januari 2002).

Kementerian Pendidikan Malaysia. Falsafah Pendidikan Negara.

Kerja perguruan penting kepada pembangunan. 2001. Berita Harian, 5 Februari: 5.

Khoo Guat Lien. 2000. Understanding how the human brain learns : A cognitive science perspective. Proceedings of the International Conference on Teaching and Learning. Bangi : Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia. hlm. 1184-1194.

Krueger, R.A. 1994. Focus group: A practical guide for applied research. Ed. Ke-2. Thousand Oaks: SAGE Publications.

Lamm, Z. 1978. The status of knowledge in the radical concept of education. Dlm Gress, J.R. dan Purpel, D. E. 1978. Curriculum. Berkeley, CA: McMc Cutchan Publishing Corp.

Malaysia. 1996. Seventh Malaysia Plan 1996-2000.

McManus, M. 1989. Troublesome behavior in the classroom. New York: Nichols Publishing Company.

Mohd Najib Ghafar. 2000. Kestabilan emosi guru: Perbandingan antara pensyarah dan pelajar. Jurnal Teknologi 32 (E): 1-10.

Muchinsky, P.M. 1997. Psychology applied to work. Ed. ke-5. Pacific Groove: Brooks/ Cole Publishing Company.

Murid dakwa ditendang, dirotan empat guru. 2001. Utusan Malaysia, 2 April:12.

New Straits Times. 2002. Texas mom convicted of murder. 14 Mac: W 6

Newman, J. M., Albright, J., Beveridge, J., Crass, K., Harding, M., Hughes, E., Kimpton, P., Manning, R., Mc Tavish, J., Millen, S., Peters, W., Wastie, S. & Leung, V. 1998. Tensions of teaching: beyond tips to critical reflection. New York: Teachers College Press.

Newton, D. P. dan Newton, L.D. 2001. What heads and student teachers think matter. Research in Education 66: 54-64.

Noriah Mohd Ishak. 1994. Pola pemilihan respons menangani ketegangan dan hubungannya dan hubungannya dengan punca ketegangan di kalangan guru-guru. Tesis Sarjana.Universiti Kebangsaan Malaysia.

O’Neil, J. 1996. On emotional intelligence: A conversation with Daniel Goleman. Educational Leadership 54(1): 6-11 (CD-ROM) PsycINFO 1999-2000 (24 Januari 2002).

Ort , S. 1997. Reflections on observing a teacher. Dlm Duckworth, E. 1997. Teacher to teacher: learning from each other. New York : Teachers College Press.

Perkins, D. 1995. Outsmarting IQ. New York: The Free Press.

Polloway, E.A., Patton, J.R., & Serna, L. 2001. Strategies for teaching learners with special needs. Ed. ke-7. Upper Saddle River, New Jersey: Merrill Prentice-Hall Inc.

Saadi, I. 2001. An attitudes to school for primary school children. Research in Education. 66: 65-75.

Sarason, S.B. 1999. Teaching as a performing art. New York : Teachers College Press.

Shapiro, L. E. 1997. How to raise a child with a high EQ. New York: HarperCollins Publisher.

Skinner, B.F. 1987. Upon further reflection. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Skovholt,T. & D’Rozario,V. 2000. Portraits of outstanding and inadequate teachers in Singapore. Teaching and learning. 21(1):9-17.

Sternberg, R .J. 1996. Successful intelligence . New York: Simon & Schuster.

Stufft, W. D. 1996. Assessing your emotional IQ. Professional notes. Teaching Music 4 (1):42-43 (CD-ROM) ERIC 1992-Jun 2001 (24 Januari 2002).

Sutarso, P. 1999. Gender differences on the emotional intelligence inventory(EQI)(marital status).Dissertation Abstract International: Section B:The Sciences and Engineering (CD-ROM) PsycINFO 1999-2000. (24 Januari 2002).

Sutarso, T. and others.1996. Effect of gender and GPA on emotional intelligence. (CD-ROM) ERIC 1992-Jun 2001. (24 Januari 2002).

Syed Othman Alhabshi.1995. Quality and productivity consciousness: The Islamic Approach. Dlm Syed Othman Alhabshi, Nik Mustapha Nik Hassan dan Sarina Othman (pnyt.). Quality & Productivity, hlm 9-37. Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia.

Tapia, M. 1999. The relationships of the emotional intelligence inventory.(CD-ROM) ERIC1992-Jun 2001.( 24 Januari 2002).

Wechsler, D. 1958. The measurement and appraisal of adult intelligence. Ed. ke-4. Baltimore:The Williams and Wilkins Company.

Weisenger, H. 2000. Emotional intelligence at work. San Francisco: Jossey-Bass.
Wiersma, W. 2000. Research method in education: an introduction. Needham Heights: Allyn & Bacon.

Wilks, F.1998. Intelligent emotion. London: Arrow Books.

Profil Kecerdasan Emosi Guru-guru

Profil Kecerdasan Emosi Guru-guru Sekolah Menengah
Zon Tengah Semenanjung Malaysia

Syafrimen
Ruslin Amir
Noriah Mohd. Ishak
Fakulti Pendidikan
Universiti Kebangsaan Malaysia

Abstrak

Kajian ini bertujuan untuk melihat profil kecerdasan emosi (EQ) guru-guru sekolah menengah Zon Tengah Semenanjung Malaysia. Seramai 174 orang guru yang berkhidmat di sebelas buah sekolah menengah telah dipilih sebagai sampel kajian. Data telah dikumpulkan menggunakan Inventori Kepintaran Emosi Malaysia (IKEM)/Malaysian Emotional Quoetient Inventory (MEQI) oleh Noriah Mohd Ishak et al (2003). Data dianalisis menggunakan perisian SPSS Versi 11.5 dengan menggunakan statistik deskriptif seperti min, peratus dan sisihan piawai. Dapatan kajian menunjukkan, graf profil bagi guru-guru di kawasan Zon Tengah dan graf profil bagi guru-guru mengikut negeri didapati mempunyai skor min yang tinggi pada domain kerohanian dan kematangan, namun rendah pada domain kemahiran sosial. Dapatan kajian juga menunjukkan terdapat perbezaan profil kecerdasan emosi (EQ) antara guru-guru di Malaysia dengan profil kecerdasan emosi guru-guru di kawasan Zon Tengah Semenanjung Malaysia. Kajian ini juga mendapati bahawa terdapat perbezaan profil kecerdasan emosi (EQ) berdasarkan faktor jantina dan faktor umur.

Abstract

This research examined the emotional intelligence (EQ) profile of secondary school teachers in central zone of Peninsular Malaysia. About 174 teachers were involved as respondents for the study. The Malaysian Emotional Quotient Inventory (MEQI) designed by Noriah Mohd Ishak et al. (2003) was used to measure the emotional intelligence of respondents. SPSS Version 11.5 was used to analyze the data collected. Descriptive statistic such as mean and standard deviation was carried out. The results showed that the general profile for the teachers scored high mean score on spirituality and maturity domain but lower score for social skills. Results also showed that teachers in all states achieved high mean score for spirituality and maturity domain but scored lower mean for social skill domain. Finally, there were difference shown in emotional intelligence profile based on gender or age.

A. Pengenalan

Sekolah merupakan institusi masyarakat yang mempunyai tujuan tertentu iaitu membentuk dan mengubah tingkah laku para pelajar (mendidik) ke arah yang dikehendaki. Perubahan tingkah laku ini merupakan matlamat yang hendak dicapai melalui fungsi sekolah. Tugas guru adalah melaksanakan fungsi ini untuk menciptakan satu suasana yang boleh menimbulkan atau menghasilkan perubahan tingkah laku tersebut (Atan Long 1978). Guru merupakan pekerja di dalam sebuah organisasi yang besar dan kompleks. Pengajaran dan pembelajaran dalam era globalisasi adalah pengalaman yang cukup memenatkan. Persaingan dan cabaran alam pekerjaan sebegini kemungkinan boleh membawa kesan negatif terhadap guru dan juga pelajar. Ini boleh menyebabkan cetusan emosi antara kedua-dua pihak, senario ini boleh menjejaskan imej guru jika ianya berlaku. Kajian Skovholt dan D’Rozario (2000) menunjukkan bahawa pelajar menganggap guru yang berempati dan pandai bergaul dianggap sebagai guru cemerlang. Dapatan ini menguatkan hasil kajian Grasha (1996) yang mendapati bahawa guru cemerlang adalah guru yang berempati dan prihatin terhadap keperluan pelajar.
Akhir-akhir ini media masa selalu sahaja mendedahkan berita-berita kurang baik yang boleh merosakan imej profesion perguruan. Noriah et al (2002) mengemukakan beberapa contoh berkaitan dengan tingkah laku kurang beretika dan kurang bertanggungjawab di kalangan guru-guru di sekolah. Seperti guru telah mendenda murid secara keterlaluan, sehingga meninggalkan kesan negatif terhadap perkembangan psikologikal dan fizikal pelajar. Contoh lain adalah ketidakbolehan guru mengawal kemarahan sehingga sampai merosakan harta benda sekolah yang seharusnya dijaga untuk kepentingan pendidikan. Tingkah laku seperti itu boleh merosakan kerjaya guru dan juga boleh menimbulkan tekanan dan gangguan kesihatan mental. Tingkahlaku seperti ini juga boleh merosakan pandangan masyarakat terhadap profession perguruan yang sepatutnya menjadi pendidik, pembimbing (role model) generasi muda yang sedang berkembang.

Utusan Malaysia (April 2001) melaporkan bahawa seorang murid tahun tiga di Klang mendakwa beliau telah dicekik, dirotan dan ditendang dadanya oleh empat orang guru. Berita Harian (Ogos 2004) melaporkan di Kuantan, 21 orang pelajar sekolah kebangsaan Jengka 1, Bandar pusat Jengka Maran, telah ditampar, membersihkan papan hitam dengan menggunakan pipi. Sehingga kejadian itu telah menyebabkan kemarahan ibubapa masing-masing pelajar. Terakhir Berita Harian (15 Ogos 2004) juga melaporkan bahawa, di Ipoh seorang pelajar tingkatan dua Sekolah Menengah Kebangsaan Anderson, mendakwa ditumbuk, ditampar dan dirotan oleh guru matematiknya hingga menyebabkan tangan kiri pelajar berkenaan bengkak dan dirawat di Hospital Ipoh (HI).

Kejadian-kejadian seperti ini menunjukkan bahawa, sebahagian guru tidak dapat mengawal emosi mereka ketika berhadapan dengan pelbagai karenah pelajar di dalam kelas. Sehingga mereka melakukan perkara-perkara yang boleh menimbulkan kecerderaan fizikal dan juga kesan psikologis yang mendalam kepada pelajar. Sesetengah pelajar merasa takut untuk datang ke sekolah akibat perlakuan guru yang sedemikian. Pertanyaanya sekarang adalah; Adakah perkara sebegini wajar dilakukan oleh seorang guru untuk mendidik pelajarnya? Apakah sebenarnya yang telah berlaku di kalangan guru-guru di Malaysia? Adakah mereka hanya pintar dalam akademik, namun sedikit sekali mengetahui ilmu-ilmu psikologi yang sepatutnya dimiliki oleh calon-calon pendidik? Rentetan pertanyan seperti ini, telah banyak dijawab oleh ahli-ahli psikologi, yang mengemukakan bahawa para pendidik tidak cukup hanya dengan kecerdasan intelek sahaja, namun mereka juga harus memiliki keterampilan-keterampilan psikologi sehingga memudahkan mereka untuk mendekati dan merubah tingkah laku para pelajarnya. Salah satu contoh yang akan dibincangkan dalam kajian ini adalah “guru perlu mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi”.

Goleman (1995) telah mengemukakan satu idea untuk menerangkan beberapa domain yang boleh mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang. Idea Goleman ini cuba menerangkan faktor kegagalan dan kejayaan seseorang dalam kehidupan peribadi dan kerjaya masing-masing daripada perspektif kecerdasan emosi. Goleman (1999) menyatakan bahawa kecerdasan emosi ialah kemampuan mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi sendiri dengan baik serta kebolehan menjalin hubungan dengan orang lain. Goleman (1999) juga menyatakan bahawa seseorang yang tidak mempunyai keupayaan mengawal emosi, agak sukar berinteraksi dengan orang lain, dan tidak mampu untuk menjalankan kerja dengan baik. Mereka juga boleh digolongkan sebagai individu yang kurang berjaya dalam kerjayanya. Peristiwa-peristiwa cetusan emosi yang berlaku, terutama yang di tempat kerja, membawa implikasi kepada tahap kestabilan dan kematangan emosi individu berkenan (Goleman, 1999). Goleman (1999) seterusnya menyatakan bahawa kecerdasan emosi sangat membantu seseorang untuk berjaya dalam kerjayanya.

Secara keseluruhannya, artikel ini cuba melihat profil kecerdasan emosi (EQ) guru-guru sekolah menengah berdasarkan lima domain Kecerdasan Emosi yang dikemukakan oleh Goleman (1995), dan dua domain tambahan berdasarkan kajian Noriah et al (2003). Pengkaji cuba mengemukakan profil kecerdasan emosi (EQ) guru-guru daripada perspektif kedua-dua hasil kajian di atas.

Dari itu perbincangan ini akan menjawab beberapa soalan kajian seperti berikut:

1. Apakah profil kecerdasan emosi (EQ) guru-guru sekolah menengah Zon Tengah Semenajung Malaysia?
2. Apakah profil kecerdasan emosi (EQ) guru-guru sekolah menengah mengikut negeri?
3. Adakah terdapat perbezaan profil kecerdasan emosi (EQ) di kalangan guru-guru sekolah menengah Zon Tengah Semenanjung Malaysia dengan profil kecerdasan emosi (EQ) guru-guru sekolah menengah di Malaysia secara keseluruhan?
4. Adakah terdapat perbezaan profil kecerdasan emosi (EQ) di kalangan guru-guru sekolah menengah mengikut jantina?
5. Adakah terdapat perbezaan profil kecerdasan emosi (EQ) di kalangan guru-guru sekolah menengah mengikut umur?

B. Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi disebut juga dengan istilah EQ ataupun celik emosi. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi mudah bergaul bersama orang lain dengan empati dan perasaan kasih sayang, mempunyai kemahiran sosial yang tinggi dan menggunakan kesedaran emosi untuk mengawal tingkah laku. Istilah emotional Intelligence diperkenalkan oleh John Mayer dan Peter Salovey dalam tahun 1990 yang kemudian menarik minat orang ramai selepaskan dipopularkan oleh Goleman pada tahun 1995. Goleman (1995; 28) menyatakan “ an emotional competence is learned capability based on emotional intelligence that results in outstanding performance at work”. Goleman mengemukakan bahawa kecerdasan emosi menentukan potensi seseorang untuk mempelajari kemahiran berdasarkan kepada dua kecekapan (peribadi dan sosial). Kecekapan peribadi diterangkan oleh tiga domain iaitu kesedaran kendiri, regulasi kendiri dan motivasi kendiri, manakala kecekapan sosial diterangkan oleh dua domain iaitu empati dan kemahiran sosial. Kesedaran kendiri ialah kebolehan seseorang mengetahui emosi dalaman, pilihan, sumber dan intuisi. Regulasi kendiri iaitu kebolehan seseorang mengurus emosi dalaman, gerak hati dan sumber-sumber luaran yang boleh mempengaruhi emosinya. Motivasi kendiri ditakrifkan sebagai kecenderungan emosi yang mendorong seseorang untuk mencapai sesuatu matlamat. Kecekapan sosial menerangkan bagaimana seseorang menentukan kebolehan menjaga hubungan (peribadi dan professional). Domain pertama empati, dapat ditakrifkan sebagai memahami orang lain mengembangkan potensi orang lain, berorientasi perkhidmatan, mencungkil kepelbagaian dan kesedaran politik. Domain kedua pula iaitu kemahiran sosial yang diterangkan oleh subdomain; pengaruh, komunikasi, pengurusan konflik, kepemimpinan, pemangkin perubahan, kerjasama dan kebolehan berpasukan.


C. Metodologi Kajian

Kajian ini menggunakan rekabentuk kajian rentas dimana data dikumpul sekali sepanjang kajian diajalankan. Satu set borang soal selidik IKEM-MEQI yang dibina oleh Noriah et al (2003) telah digunakan sebagai instrumen kajian. Instrumen ini terdiri daripada 249 item menggunakan skala Likert lima mata bagi mengukur ketujuh tujuh domain kecerdasan emosi seperti disentuh sebelum ini. Analisis kebolehpercayaan (Cronbach Alpha) bagi instrumen ini ialah 0.98 (sangat tinggi). 174 orang guru yang berkhidmat di sebelas buah sekolah menengah di kawasan Zon Tengah Semenanjung Malaysia (Perak, Selangor, Negeri Sembilan, Melaka dan Johor), telah mengambil bahagian dalam kajian ini. Semua guru terbabit adalah guru-guru sekolah menengah yang berkhidmat di bawah Kementerian Pendidikan Malaysia. Guru lelaki terdiri dari 59 orang (33.9%), guru perempuan 110 orang (63.2%) dan 5 orang (2.9%) guru tidak menyatakan jantina mereka di dalam soal selidik yang dibahagikan. Dari segi umur, guru yang berumur (23-30 tahun) seramai 36 orang (20.7%), (31-40 tahun) seramai 85 orang (48.9%), (41 tahun ke atas) seramai 43 orang (27.4%) dan 10 orang guru (5.7%) tidak menjelaskan umur mereka di dalam borang soal selidik yang diberikan. Manakala dari segi etnik pula, guru Melayu 148 orang (85.1%), guru Cina 13 orang (7.5%), guru India 7 orang (4.0%) dan lain-lain 1 orang (0.6%). Manakala 5 orang (2.9%) lagi tidak menandakan mana-mana etnik yang telah ditentukan di dalam soal selidik. Dari segi satus perkahwinan pula, 137 orang (78.7%) responden yang telah berkahwin, 31 orang (17.8%) bujang dan 6 orang (3.4) tidak menyatakan status mereka di dalam soal selidik yang diberikan. Guru-guru ini dipilih secara rawak oleh pihak sekolah berkenaan.


D. Dapatan Kajian
Profil kecerdasan emosi guru-guru Zon Tengah Semenanjung Malaysia. Hasil kajian menunjukkan guru-guru mempunyai skor min yang tinggi pada domain kerohanian (M=94.01) dan kematangan (M=91.29), dan mempunyai skor min yang rendah pada domain kemahiran sosial (M=72.89). Profil kecerdasan emosi guru-guru sekolah menengah mengikut negeri (Perak, Selangor, Negeri Sembilan, Melaka dan Johor), didapati juga tinggi pada domain kerohanian dan kematangan, dan terendah pada domain kemahiran sosial.

Untuk melihat perbezaan graf profil EQ antara guru sekolah menengah Zon Tengah dengan profil EQ guru-guru di Malaysia, guru-guru berdasarkan jantina dan guru-guru berdasarkan umur, pengkaji telah menjadikan graf profil guru-guru di Malaysia sebagai graf pembanding. Graf pembanding ini adalah merupakan Graf Piawai (standard) yang telah dihasilkan oleh kajian Noriah et al (2003). Dapatan kajian menunjukkan terdapat perbezaan profil EQ antara guru-guru sekolah menengah Zon Tengah Semenanjung Malaysia dengan profil EQ guru-guru sekolah menengah di Malaysia. Namun perbezaan min yang diperolehi sangat kecil. Bagaimanapun kedua-dua kumpulan yang dikaji mempunyai skor min yang tinggi pada domain kerohanian (M=95.05 bagi guru SM secara keseluruhan, M=94.01 bagi guru SM Zon Tengah) dan kematangan (M=92.32 bagi guru SM secara keseluruhan, M=91.29 bagi guru SM Zon Tengah). Graf profil juga menunjukkan skor min yang rendah pada domain regulasi kendiri dan kemahiran sosial. Bagaimanapun skor min pada domain regulasi kendiri (M=68.81) dan kemahiran sosial (M=70.40) bagi guru-guru secara keseluruhan, sedikit lebih rendah berbanding skor min regulasi kendiri (M=76.11) dan kemahiran sosial (M=72.89) bagi guru-guru sekolah menengah Zon Tengah Semenanjung Malaysia.

Perbezaan profil kecerdasan emosi (EQ) di kalangan guru-guru sekolah menengah mengikut jantina pula, menunjukkan terdapat perbezaan profil EQ diantara kumpulan guru lelaki dan kumpulan guru perempuan. Namun perbezaan tersebut sangat kecil. Bagaimanapun mereka mempunyai skor min tertinggi pada domain kerohanian (M=93.11, bagi guru lelaki, M=94.62, bagi guru perempuan) dan kematangan (M=92.47 bagi guru lelaki, M=90.94 bagi guru perempuan), dan terendah pada domain kemahiran sosial (M=74.49 bagi guru lelaki, M=72.03 bagi guru perempuan). Namun demikian didapati bahawa skor min kerohanian bagi kumpulan guru perempuan (M=94.62) sedikit lebih tinggi daripada skor min kerohanian bagi kumpulan guru-guru lelaki (M=93.11), sebaliknya skor min kematangan bagi guru lelaki ((M=92.47) sedikit lebih tinggi berbanding guru-guru perempuan (M=90.94).

Perbezaan profil kecerdasan emosi dikalangan guru-guru sekolah menengah mengikut umur, juga menunjukkan terdapat perbezaan profil EQ di kalangan guru-guru yang berlainan peringkat umur. Namun perbezaan yang diperolehi sangat kecil. Graf profil menunjukan, guru-guru yang mempunyai umur yang lebih muda mempunyai graf profil yang hampir bersamaan dengan graf profil guru-guru yang lebih tua. Ketiga-tiga kumpulan umur yang dikaji mempunyai graf yang lebih kurang sama dengan graf pembanding (standard). Graf profil yang diperolehi adalah skor tertinggi pada domain kerohanian dan kematangan, dan skor terendah pada domain kemahiran sosial.


E. Perbincangan

Goleman (1999) telah mengemukakan lima domain kecerdasan emosi iaitu kesedaran kendiri, regulasi kendiri, motivasi kendiri, empati dan kemahiran sosial. Bagi Goleman (1999) kelima-lima domain ini berbentuk hiraki, iaitu bermula dari yang rendah kepada yang tinggi: Kesedaran kendiri, regulasi kendiri, motivasi kendiri, empati dan kemahiran sosial. Domain EQ pada hirarki paling bawah akan mempengaruhi domain-domain EQ yang berada pada hirarki yang lebih tinggi. Kajian kecerdasan emosi (EQ) yang dijalankan oleh Noriah et al (2002-2003) ke atas pegawai-pegawai kerajaan di Malaysia, telah mengenalpasti penambahan dua domain baru berdasarkan konteks tempatan. Dua domain tersebut ialah “kerohanian dan kematangan”. Hasil kajian beliau juga menunjukkan bahawa kedua-dua domain berkenaan mempunyai skor min yang lebih tinggi berbanding dengan lima domain kecerdasan emosi yang dinyatakan oleh Goleman. Bagaimanapun ketujuh-tujuh domain ini tidak berbentuk hiraki sebagaimana yang dinyatakan oleh Goleman (1999). Dapatan ini menggambarkan bahawa setiap domain tersebut berada pada tahap yang berbeza.

Secara umumnya dapatan kajian ini menunjukkan skor min yang tinggi pada domain kerohanian dan kematangan. Ini menunjukkan bahawa kedua-dua domain ini sangat membantu dalam meningkatkan kecerdasan emosi di kalangan guru-guru yang dikaji. Mereka juga didapati mempunyai skor min yang rendah pada domain regulasi kendiri dan kemahiran sosial. Dapatan ini menunjukkan bahawa kumpulan guru yang dikaji mempunyai kebolehan mengawal diri yang rendah, serta kurang menggunakan kemahiran sosial mereka dalam meningkatkan kecerdasan emosi. Terdapat perbezaan profil kecerdasan emosi dikalangan guru-guru sekolah menengah Zon Tengah Semenanjung Malaysia dengan profil kecerdasan emosi guru-guru secara keseluruhan. Bagaimanapun, dapatan kajian menunjukkan skor min tertinggi pada domain kerohanian dan kematangan, bagi kedua-dua kumpulan guru-guru tersebut. Ini menunjukkan bahawa nilai-nilai kerohanian dan tahap kematangan cukup berpengaruh dalam meningkatkan kecerdasan emosi guru-guru berkenaan. Skor min yang rendah pada domain kemahiran sosial, memberikan implikasi bahawa kedua-dua kumpulan guru berkenaan kurang menggunakan kemahiran sosial mereka dalam meningkatkan kecerdasan emosinya.

Dapatan kajian juga menunjukkan terdapat perbezaan profil kecerdasan emosi berdasarkan faktor jantina dan peringkat umur. Bagaimanapun perbezaan tersebut sangat kecil. Dapatan kajian menunjukkan bahawa kedua-dua kumpulan yang dikaji mempunyai graf profil yang hampir bersamaan, iaitu mereka mempunyai skor yang tinggi pada domain kerohanian dan kematangan dan mempunyai skor yang relatif rendah pada domain kemahiran sosial. Hal ini menunjukkan bahawa kedua kumpulan tersebut sangat mengambil berat nilai-nilai agama, pengalaman serta perkara-perkara lain yang boleh menjadikan mereka bertambah matang, sehinga boleh menjadikan emosinya lebih stabil. Dapatan kajian ini selari dengan kajian Noriah et al (2003) yang mendapati bahawa domain kerohanian dan kematangan merupakan aspek penting dalam meningkatkan kepintaran emosi seseorang. Antara aspek-aspek kerohanian yang dimaksudkan ialah; keredhaan, tanggungjawab sebagai hamba kepada pencipta serta kemampuan seseorang dalam menghayati nilai-nilai agama. Keredhaan bermaksud kemampuan seseorang menerima dengan rela garis panduan agama masing-masing serta menjadikannya sebagai pedoman dalam kehidupan. Tanggungjawab memberi maksud sentiasa aktif bekerja untuk memenuhi tugas sebagai insan yang diamanahkan oleh Allah dalam mentadbir kehidupan ini. Untuk melaksanakan tanggungjawab dengan baik, seseorang perlu menghayati nilai agama seperti sentiasa menilai dahulu sebelum melakukan sesuatu perkara di samping memastikan tindakan yang dilakukannya tidak bertentangan dengan agama yang mereka anuti. Justeru, guru yang memiliki kerohanian yang bagus, mampu mendidik para pelajarnya menggunakan mata hati di samping kemahiran dan ilmu pengetahuan yang dimiliki.

Dalam konteks budaya Malaysia agama menjadi pedoman dan panduan hidup. Setiap pekerjaan, tingkah laku, pergaulan akan sentiasa dipandu oleh nilai-nilai kerohanian yang terdapat dalam agama masing-masing. Responden kajian memperlihatkan kepentingan kerohanian dalam mengawal dan membentuk emosi yang stabil, sebagai mana yang ditunjukkan oleh skor min yang tinggi pada domain tersebut. Sehubungan dengan itu, kebolehan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan memberikan kekuatan tersendiri untuk mengendalikan emosi-emosi yang negatif (seperti; geram, rimas, sedih, dan benci). Kekuatan ini dapat dilihat daripada keperibadian individu yang tidak mudah goyah dengan pelbagai cabaran dalam pekerjaan mahupun dalam kehidupan seharian. Peribadi individu yang sentiasa tenang, suka tersenyum, mudah didampingi, senang berkomunikasi dan suka membantu orang lain melambangkan ketinggian rohani dirinya. Sebagai seorang guru, peribadi yang sedemikian sangat penting dalam membentuk keperibadian pelajar.

Para pelajar memandang guru sebagai model yang sentiasa dicontohi dalam setiap gerak geri. Ini tidaklah menghairankan kerana guru adalah orang yang menggantikan peranan ibubapa di sekolah. Seorang guru bukan hanya sekadar menyampaikan ilmu pengetahuan malahan juga memberikan nilai terhadap ilmu yang diberikan, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu yang disampaikan boleh menjadikan pelajarnya sebagai seorang insan yang berguna. Guru yang baik mampu membina keunggulan sahsiah pelajarnya, disamping mencipta suasana pengajaran dan pembelajaran yang boleh merangsang potensi pelajar, disamping menyeimbangkan antara tuntutan kerohanian dengan keperluan kemahiran mengurus kehidupan (Tajul Ariffin & Nor Aini, 2002). Dalam dunia hari ini penuh dengan pelbagai pengaruh negatif yang boleh merosakan jati diri generasi muda yang akan menjadi pelapis pemimpin masa depan. Untuk menghadapi hal sedemikian, pelajar perlu dibekalkan dengan nilai-nilai kerohanian dan akidah yang mantap serta kestabilan emosi (Tajul Ariffin & Nor’ Aini, 2002). Glock dan Stark (1966) dalam Djmaludin Ancok (1994) mengakui bahawa kerohanian adalah penting dalam kehidupan. Selalunya setiap tindakan dan perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang sentiasa dipengaruhi oleh nilai-nilai kerohanian yang diyakini oleh individu tersebut.

Di samping mempunyai kerohanian yang tinggi, seorang guru juga perlu mempunyai kematangan. Kematangan yang dimaksudkan ialah kematangan dari segi usia, pengalaman dan pengetahuan, sehingga akan memberikan kesan terhadap kecerdasan emosi seseorang (Noriah et al, 2004). Individu biasanya akan lebih matang apabila usianya meningkat. Kematangan juga menggambarkan seseorang lebih berhemah dalam bertingkah laku dan bertindak. Kematangan usia juga sangat membantu individu untuk melakukan muhasabah diri dalam mengenal kelemahan dan kekuatan yang dimiliki. Dari aspek pengalaman pula, didapati ianya mempunyai perkaitan yang rapat dengan kecerdasan emosi. Seorang guru yang mempunyai pengalaman positif dalam dunia pekerjaan dan persekitaranya, biasanya dapat mengawal emosi dengan baik berbanding dengan guru yang masih kurang berpengalaman di dunia pekerjaan. Pengalaman juga boleh membantu guru belajar dan seterusnya menggunakan hasil pembelajaran tersebut apabila dalam keadaan konflik dengan diri atau orang lain. Pengalaman lepas dianggap sebagai contoh atau tauladan. Peningkatan ilmu pengetahuan juga boleh membantukan seseorang meningkatkan kematangan diri. Pengetahuan tersebut boleh diperolehi sama ada melalui pembelajaran secara formal (hasil daripada latihan dalam perkhidmatan atau sebelum perkhidmatan) atau secara tidak formal. Bagaimana pun, kebanyakan pembelajaran berlaku dalam keadaan tidak formal. Individu yang boleh menyerap ilmu pengetahuan secara tidak formal dan menggunakannya dalam kehidupan peribadi atau pekerjaannya secara berkesan akan dapat meningkatkan kepintaran emosinya. Seseorang yang matang boleh menunjukkan kebijaksanaannya dalam pemikiran, membuat pertimbangan dan membuat sesuatu keputusan. Kematangan yang ditunjukkan oleh seorang guru dalam menyelesaikan sesuatu masalah dapat mendidik pelajar dalam menghadapi pelbagai pengaruh negatif yang akan merosakan masa depannya. Pelajar itu akan menggunakan kepintaran emosi dan juga intelek dalam menengani masalah-masalah yang dihadapi.


F. Implikasi Terhadap Hubungan Guru-Pelajar dan Kajian Lanjutan

Guru dan pelajar saling melengkapi, masing-masing memainkan peranan penting dalam pembentukan suasana pengajaran dan pembelajaran yang selesa. Guru yang mempunyai tahap EQ yang tinggi lebih berketarampilan dalam menjalankan tugas mereka, kerana mereka sentiasa bersikap terbuka terhadap pandangan-pandangan baru dan sentiasa mendapatkan maklum balas tentang cara mengajar mereka daripada pelajar masing-masing. Keadaan sebegini akan merapatkan hubungan antara guru dan pelajar. Bowlby (1988) berpandangan bahawa bila seorang pelajar merasa dekat secara psikologi dengan seseorang, maka ia akan berusaha pula untuk mendekati secara fizikal, dan selalu berhubungan dengan orang tersebut dalam keadaan tertentu. Oleh sebab itu, pelajar akan sentiasa meminta bantuan guru apabila timbul masalah. Keadaan seperti ini akan lebih meningkatkan lagi hubungan baik antara guru dan pelajar.

Dalam era saat ini guru akan berhadapan dengan pelajar-pelajar yang kreatif dan inovatif dalam teknik belajar, ini menimbulkan keperluan kepada bentuk hubungan yang berbeza antara guru dan pelajar. Sehubungan dengan itu guru perlu menyesuaikan diri dengan bentuk hubungan baru. Bagaimanapun, penyesuaian memerlukan keluwesan dalam menimbangkan berbagai perspektif berdasarkan situasi (Goleman 1999). Keluwesan ini pula memerlukan kekuatan emosi, kemampuan berasa selesa dalam keadaan yang tidak menentu dan sentiasa bertenang dalam menghadapi situasi yang berlaku di luar jangkaan. Guru yang luwes adalah lebih berkeyakinan dan mahir menyesuaikan tindak balas, khususnya apabila berhadapan dengan situasi pengajaran dan pembelajaran yang berubah. Seterusnya guru yang mempunyai tahap EQ yang tinggi tidak terburu-buru membuat tindakan terhadap pelajar-pelajar yang menimbulkan masalah dalam kelas. Ini akan merangsang suasana saling memahami antara guru dan pelajar, pelajar pula merasa dihargai dan dibantu oleh guru.
Kementerian Pendidikan telah mencadangkan supaya EQ dimasukan sebagai sebahagian daripada kurikulum latihan guru. Jadi lebih banyak kajian EQ perlu dibuat untuk meneroka isu-isu yang berkaitan dengan EQ di kalangan guru yang berlainan tahap pendidikan dan latar belakang. Menurut Goleman (1999) EQ terbina berasaskan domain-domain yang tersusun mengikut hirarki. Persoalannya ialah bilakah pembinaan EQ ini bermula? Dan bagaimana ianya berlaku? Maka kajian dalam jangka masa panjang perlu dijalankan supaya Kementerian Pendidikan boleh membantu guru dengan merangka program intervensi agar EQ guru-guru dapat ditingkatkan sepanjang kerjaya mereka. Karena kertas kerja ini mengemukakan tajuk “Profil Kecerdasan Emosi Guru-guru sekolah menengah” maka satu kajian untuk menyelidik EQ pelajar dan membandingkan dengan EQ guru perlu dijalankan. Adakah EQ pelajar dipengaruhi oleh EQ guru? Satu lagi kajian yang tidak kurang pentingnya ialah melihat hubungan antara EQ, komitmen terhadap kerjaya perguruan dan pertautan terhadap organisasi di kalangan guru-guru. Ini membantu untuk memahami bagaimana guru memainkan peranan di dalam dan luar dunia pendidikan.


Rujukan

Berita Harian 7th August 2003.

Berita Harian 15th August 2004.

Bowlby, J. (1988). A secure base: Parent-child attachment and healthy human development. New York: Basic Books.
Dmaludin Ancok & Nashori Soroso. 1994. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Grasha, A.F. (1996). Teaching with styles. Cincinnati: Allience Pub.

Goleman. D. 1995. Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam Books.

Goleman. D. 1999. Working with emotional intelligence. New York: Bantam Books.

Noriah, M.I., Ramlee, M. & Norehah, K. (2002). Personality profile of technical and non- technical students. International Journal of Vocational Education and Training, 10(2), 61-72.
Noriah M.I, Zuria Mahmud. 2003. Kepintaran Emosi di Kalangan Pekerja di Malaysia. Prosiding IRPA- RMK-8 Kategori EAR. Jilid 1: 184-187.
et al. 2004. Manual Iventori Kecerdasan Emosi Malaysia, IKEM (D). versi 2. Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Skovholt, T. & D’Rozario, V. 2000. Portraits of outstanding and inadequate teachers in Singapore: The impact of emotional intelligence. Teaching and Learning. 21(1): 9-17.

Tajul Ariffin Noordi dan Nor’ Aini Dan. 2002. Pendidikan & pembangunan manusia: pendidikan bersepadu. Bandar Baru Bangi: As-Syabab Media.

Utusan Malaysia 2 th April 2001